Pulang

179 19 2
                                        

Cin Lee mengayun langkahnya. Namun, tidak langsung menuju kota raja. Ia masih ragu, apakah akan muncul dan menunjukkan bahwa dirinya masih hidup, ataukah tetap membiarkan orang mengira dirinya telah tewas. Lagipula, staminanya belum pulih betul. Ia khawatir dihadang musuh-musuh jianghu yang masih mengincar nyawanya.

Akhirnya Cin Lee memutuskan untuk memulihkan kekuatannya terlebih dahulu. Naluri membawanya ke Pulau Yingjun. Ingin menjenguk makam ayahnya.

Setelah beberapa minggu melakukan perjalanan dengan menyamar, akhirnya ia tiba di pulau indah tersebut. Memutuskan beristirahat, melepas lelah dan memulihkan fisik sambil menenangkan pikiran di tempat itu.

Namun, aneh. Dulu, kesunyian adalah temannya, hingga ia terbiasa dan merasa nyaman. Akan tetapi, sekarang, sunyi ini menggelisahkan, seakan ada yang hilang. Ia terusik oleh sesuatu yang hilang ini.

Kalung emas berliontin merah warisan ayah satu-satunya telah raib. Milik ibu, ibu yang sangat dicintai ayahnya. Benda yang setia menemani, semenjak ayah meninggal dunia. Kerap digenggam dan ditimang-timang jika rindu ayah ibu atau dibawa tidur. Benda itu pula yang akhirnya menjadi mahar pernikahan. Biasanya terselip di balik baju.  Kini tak ada lagi. Rupanya tercecer di medan pertempuran waktu itu.

Ini milik ibumu. Berikan pada calon istrimu.

Suara ayah menggema di relung batinnya. Cin Lee termenung. Benar-benar merasa kehilangan.

Pemuda itu lalu memandang rembulan bundar yang memiliki kembaran di permukaan laut. Mencoba meniru kebiasaan mendiang ayahnya setiap malam.

Bulan purnama di awal musim gugur terlihat sangat indah. Bercahaya menenangkan. Mirip wajah seorang gadis yang sangat cantik. Bermata kebiruan, bundar dan lebar. Jika tersenyum atau marah-marah, makin menarik.

Cin Lee terpana, kebingungan. Mengapa wajah Ji Li ada di sana? Di bulan itu?

Kenangan saat menyaksikan Ming Ji Li menari, memunculkan sebuah perasaan asing yang sukar didefinisikan. Namun, lekas tertindih oleh kemarahan. Apalagi jika teringat kekasaran mulut Ji Li. Bahkan ayah dari gadis itu pernah membuatnya menderita di penjara.

Kalau bukan karena Ming Ji Li, ia tak mungkin terlibat masalah yang mungkin akan terus-menerus membelenggu hidupnya.

Cin Lee bangkit dengan murka. Pemuda ini mencabut pedangnya dengan frustasi. Lantas laksana diamuk api, panas oleh kemarahan akan kelemahan diri sendiri, ia bersilat pedang dengan amat ganasnya.

Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung amat panjang dan lebar. Menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas.

Berkali-kali Cin Lee meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seolah-olah ia sedang merobohkan penyihir jahat yang mencoba membius hatinya.

Akan tetapi, betapa pun kegelisahan menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang diajarkan oleh ayahnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing. Pedang melayang ke udara dan pada saat itu, kedua tangan Cin Lee terkepal, dengan tenaga sinkang yang dahsyat, kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar dan kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu.

Krakkk! Pyarrrr!

Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu.

Mata Cin Lee terbelalak dan mukanya agak pucat. Terkejut bukan main menyaksikan akibat latihannya. Ia lupa diri sehingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tidak bersalah.

Dengan tatapan kosong, ia memandang bekas tempat pohon dan batu besar. Merasa malu kepada diri sendiri. Ia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila.

Untuk sesaat, ia berdiri, terengah-engah dengan keringat membasahi sekujur tubuh dan pakaiannya. Menggeleng-gelengkan kepala, seolah dengan gerakan itu, bisa mengusir bayangan gadis imut yang menghantui pikirannya. Bertekad, tak akan mengamati purnama lagi.

Kemudian ia putuskan untuk meneruskan latihan. Hanya saja kali ini, tidak seemosional tadi. Berlangsung non-stop hingga lunglai kehabisan tenaga.

Mendadak dada kirinya terasa nyeri. Ia baru teringat kalau baru saja pulih dari luka dalam yang parah. Semestinya tidak langsung memforsir tenaga seperti ini.

Pemuda itu lalu meletakkan pedang. Mengambil posisi bersila. Mengatur nafas dan menghimpun tenaga sambil mencoba menjernihkan pikirannya.

Renungannya terbang menuju semua petuah tentang cinta. Sebuah fitrah karunia, yang harus dipandu dengan nalar yang berlandaskan titah Allah dan Rasul-Nya. Akan menjadi keindahan yang diberkahi saat bermuara pada samudera bernama pernikahan. Ia sudah menikah, dan seharusnya belajar mencintai istri sendiri.

Namun, alangkah sulitnya memupus trauma terhadap cinta yang terlanjur mengeram di lumpur hati. Ia tak ingin cinta mengendalikan hidupnya. Cinta hanya menimbulkan luka. Dan ia juga benci didekati wanita. Sebenci kenangan akan ibunya.

Kali ini ia yakin, membenci Ming Ji Li,  sekaligus sukar melupakannya.

Pemuda yang dikenal di dunia jianghu sebagai Pendekar Kelana ini kemudian memperdalam ilmu silatnya di pulau sepi yang terpencil itu. Ia juga tekun meningkatkan kualitas ibadahnya. Dalam waktu beberapa bulan saja, kemajuan ilmu silatnya meningkat  pesat.

Jika malam tiba, ia melipur lara dengan membaca Al-Qur’an. Hanya dengan bacaan itu ia mampu mengusir sepi yang melindap di dada serta bayangan gadis bermata biru yang kadang datang menggoda.

Saat membaca ayat-ayat dalam kitab suci, jaraknya dengan Rabb terasa semakin dekat. Ia merenungi hakikat rasa yang membuatnya tersiksa.

Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya gemetar kala tersadar. Mengapa ia sampai terlupa wejangan gurunya, bahwa rasa benci sama seperti rasa yang lain, harus dikelola sesuai petunjuk Allah.

Semakin dalam renungannya, semakin ia mendapati bahwa rasa bencinya terhadap perasaan sendiri itu timbul karena waswas dan ketakutan tanpa dasar. Ia telah begitu terpengaruh realitas, sehingga lupa bagaimana seharusnya menempatkan perasaan.

Cinta, benci, sedih, marah, suka dan senang, semestinya ditambatkan sesuai kehendak Sang Pencipta.
Bukan menuruti waswas, ketakutan atau pandangan seseorang yang nisbi. 

Jadi, mengapa harus takut menumbuhkan cinta di jalur yang sesuai tuntunan-Nya, dan memangkas benci yang tidak pada tempatnya?

Akan tetapi, Ming Ji Li bukanlah gadis yang sesuai dengan bayangannya. Seandainya ia menikah dengan Aisha, maka rasa cinta ini akan ditumbuhkannya untuk gadis itu dan dipeliharanya dengan baik. Karena ia yakin, Aisha akan membalas perasaannya, mengabdi padanya dengan sepenuh hati, demi keridhaan Ilahi.

Sedangkan Ming Ji Li? Terbayang olehnya sikap kekanak-kanakan yang sering menjengkelkan dan menggemaskan. Menolak dirinya dengan kasar dan terang-terangan. Membuatnya serasa ingin mengikat tangan, kaki dan menyumpal mulut mungil yang judes itu. Lalu mengurungnya di kamar gelap supaya jera.

Bagaimana dia bisa bahagia bersama gadis seperti ini? Pastilah ia bakal terjerat banyak masalah dan akan repot sekali jika harus mengurus Ming Ji Li sepanjang hidupnya.

Tidak. Ia dan Ji Li tidak akan bahagia bila dipaksa bersama. Apalagi keluarga gadis itu, terutama ayahnya, luar biasa kejam tindakannya.
Ia tidak bisa tidak membenci keluarga istana.

***

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang