Langit biru bersih. Mega yang berarak, beringsut malas oleh hembusan angin. Cahaya matahari yang cerah, memantul menimbulkan kilau di atas permukaan sungai Yangtse-kiang yang jernih.
Gak Cin Lee menyandarkan tubuhnya di batang pohon beringin. Gundah.
Tangannya meraih batu. Digenggam lalu diremas sampai hancur menjadi butiran pasir.Malam tadi, setelah gagal mencari petunjuk atau jejak Putri Ming Ji Li di sekeliling istana, bersama para prajurit, ia melanjutkan pencarian sendiri dengan mengubek-ubek tiap sudut kotaraja. Hasilnya nihil.
Ia dipanggil kembali ke istana, diminta menghadap ayah mertuanya.
“Apakah kau mampu merasakan kesedihan dan kecemasanku?” ucap sang kaisar malam tadi dengan sepasang mata memerah. Di sisinya, Putri Siauw Ing, tersedu-sedu.
Dada Cin Lee mendesir. Pada saat itu, ia seperti tidak sedang berhadapan dengan seorang penguasa yang ditakuti dan disegani lawan maupun kawan. Melainkan menghadapi seorang ayah yang sangat mengkhawatirkan putrinya.
“Tolong cari putriku. Lindungi dia. Bagaimanapun caranya, kau harus membawanya pulang!” Kaisar Hongwu berkata dengan tatapan sungguh-sungguh.
Tengah malam itu juga, Cin Lee bergegas meninggalkan ibukota. Awalnya ia diiringi oleh Kim-i-wi, pasukan elit kerajaan. Akan tetapi, karena ingin lebih gesit dan leluasa, ia putuskan untuk meninggalkan pasukan, dan menelusur jalan sendiri.
Sukar dipercaya, di tengah penjagaan ketat istana oleh prajurit-prajurit tangguh, terjadi penculikan. Tak tanggung-tanggung, yang terculik adalah putri bungsu yang baru saja menikah.
Untuk yang keduakalinya, istana kecolongan.
Menurut penuturan Tan Hwi-ciangkun, Komandan Kim-i-wi, Putri Ming Ji Li pernah diculik sebelumnya oleh orang-orang Hek-i-pang dengan keahlian luar biasa. Mereka menggunakan ilmu bayangan. Sebuah keahlian rahasia yang hanya dikuasai sekte Hek-i-pang kelas tertinggi. Ilmu ini memungkinkan seseorang datang dan pergi tanpa terdeteksi. Mereka juga memiliki keahlian racun yang mumpuni. Jadi, kemungkinan besar, penculikan kedua ini juga dilakukan orang Hek-i-pang.Hanya saja, yang mengherankan, bukankah Hek-i-pang sudah dibasmi? Apakah ada petinggi Hek-i-pang yang berhasil lolos?
Bukan hal mustahil.
Maka, satu-satunya saat ini yang patut dicurigai adalah mantan sekte Hek-i-pang. Mereka harus segera memindai keberadaan sisa-sisa sekte terlarang itu.
Semalaman suntuk, Cin Lee melakukan penyelidikan ke tempat-tempat yang dicurigai pernah menjadi basis partai sesat tersebut.
Hingga dini hari tiba, ia memutuskan beristirahat di wilayah selatan, tepi sungai Yang-tse. Kemudian menunaikan ibadah, dan memasrahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa.
Lindungi dia!
Kalimat tersebut terus mengiang di telinga pemuda ini. Ia memejamkan mata. Kemudian menyandarkan tubuh ke batang pohon di pinggir sungai itu dengan dada sesak.
Bukan masalah sebenarnya jika ia dimintai tolong untuk melindungi seseorang. Seorang pendekar sejati, akan terpanggil untuk menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan. Hanya saja, posisinya sekarang sudah berbeda.
Pikirannya melayang pada situasi ketika berhadapan dengan ayah mertuanya usai melafazkan akad nikah. Orang nomor satu di kerajaan Ming itu menekan pundak kirinya dengan tatapan serius.
“Setelah ini, kugantungkan seluruh tanggungjawab untuk menjaga Putri Ming Ji Li kepadamu!”
Sekonyong-konyong, Cin Lee merasa betapa beban hidupnya bertambah berat. Meskipun usianya sudah matang, sebenarnya ia belum merasa siap untuk menikah. Belum sanggup menambah tanggungjawab. Ia masih ingin berkelana, mencari lebih banyak pengalaman hidup.
Dua tahun merantau setelah meninggalkan Uighuristan, dirasa belum cukup. Ia pun belum menemukan pemecahan atas masalah yang terpaksa dipikirkan, karena Guru Ahmet Khan menunggu jawabannya.
Dan kini, apa yang telah ia lakukan? Ia malah terpaksa menikahi seorang gadis yang sama sekali jauh dari angan-angannya. Alih-alih mendapatkan pencerahan, ia malah ditimpa masalah.
“Maafkan saya, Guru,” keluhnya pelan seraya menyandarkan tubuh ke batang pohon di pinggir sungai. Rasa bersalah menikam batinnya. Walau tak pernah berjanji untuk menikahi cucu gurunya, tetap saja ia merasa Guru Ahmet Khan masih menanti jawabannya.
Memang hingga detik ini, ia masih belum mengenal arti tertarik pada wanita. Itu berarti, masalah dirinya belum terpecahkan. Namun kenyataannya, ia sudah menikah. Entah bagaimana pikiran gurunya kalau mengetahui hal ini, karena sewaktu ia menolak menikahi Aisha, alasannya karena belum memiliki perasaan khusus itu.
Singgg!
Suara mendesing membuat Cin Lee waspada. Sebatang piauw meluncur deras ke arahnya. Pemuda ini segera menggeser langkah sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Piauw melewati bagian atas tubuhnya. Melesat terbang. Tepat menancap kuat di batang pohon hingga gagangnya bergoyang-goyang.
Pada gagang itu, melambai-lambai sehelai kertas putih menampakkan gurat-gurat tulisan bertinta hitam.
Cin Lee melompat menuju arah datangnya piauw. Segerumbul semak bergerak-gerak di seberang sungai. Si pelempar mencelat lalu lari cepat tak terkejar. Cin Lee tertegun. Langkahnya terhalang sungai.
Cucu Jenderal Gak Bun ini lalu berpaling. Mencabut piauw di pohon dan mengambil kain berisi surat.
Putri kaisar di tangan kami. Selamatkan saja kalau berani. Kami tunggu di Bukit Sunyi. Tertanda : Hek-i-pang.
Cin Lee mengepal tinju dengan gemas. Dugaannya benar. Sisa-sisa Hek-i-pang masih ada. Keningnya berkerut jengkel. Bagaimana bisa sekte sesat itu berani muncul kembali? Hujan tanya mendera benaknya. Pasti ada kekuasaan kuat yang melindungi mereka!
Pemuda ini tak mau buang waktu lagi. Segera menancapkan kembali ujung piauw berikut lembaran surat ke batang pohon. Untuk meninggalkan petunjuk bagi Kim-i-wi yang pasti akan mencapai tempat ini pula. Kemudian ia mengayunkan langkah. Berlari secepat kilat menuju Bukit Sunyi.
✿✿✿
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
أدب تاريخيSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...