Bekerja Lebih Mulia (2)

299 21 0
                                    

Cin Lee bergerak ingin mengejar, tapi Gu San lekas menahan lengannya.

“Sabar, Nak. Jangan memperpanjang urusan. Aku tak ingin kau terlibat. Lebih baik kusiapkan uang banyak untuk mencegah keributan dengan mereka.”

“Tapi, Paman, mereka telah berbuat zalim!” bantah Cin Lee penasaran.

“Mereka dilindungi aparat, anak buahnya Jenderal Lan Yu,” jelas Gu San setengah berbisik, “berat akibatnya jika memperpanjang urusan dengan mereka. Lagipula, jumlahnya cukup banyak, dan ketuanya sangat lihai.”

“Hem,” Cin Lee menegakkan kepala dan membusungkan dada. “Saya tidak takut!”

Gu San menepuk kening sendiri.

“Haiya, kukira kau anak lembut penurut, ternyata demikian bernyali, ilmumu juga hebat. Tapi aku tetap kuatir.”

“Paman,” Cin Lee menatap dengan sepasang mata bagusnya, “mengapakah harus khawatir? Jumlah pedagang di pasar ini tidak sedikit. Mengapa kita tidak bersatu saja untuk melawan Ang-i-kaipang dan aparat yang tidak adil itu?”

Gu San tercenung. Orang-orang yang masih berkerumun, mulai tertarik dan riuh rendah membicarakan wacana ini satu sama lain. 

Mendadak terdengar tepuk tangan yang cukup nyaring, disusul suara ketawa girang. Seorang kakek berpakaian putih tambal-tambalan berkelebat muncul bersama seorang anak perempuan molek berusia kira-kira sepuluh tahun dengan model pakaian yang sama. Kakek inilah yang bertepuk tangan sambil tertawa.

“Bagus! Bagus! Betapa senang hatiku menemukan anak muda pemberani sekaligus cerdik  seperti ini! Aku sepakat sekali dengan pernyataannya!” seru si kakek, berseri-seri.

Cin Lee tertegun mengamati. Kakek itu meskipun sudah tua, sepasang matanya terang dan jernih. Wajahnya terlihat periang. Anak perempuan di sampingnya juga bersikap lincah dan melempar senyum ramah padanya.

Cin Lee lalu memberi hormat. Selama bersama ayahnya, dan beberapa bulan di perantauan, sedikit banyak ia telah belajar norma sopan santun pada orang lain. Apalagi kepada yang lebih tua. Si kakek mengulapkan tangannya.

“Tak usah basa basi penghormatan begitu,” katanya tak senang. 

“Maaf, Locianpwee.” Cin Lee menurunkan lengannya.

Gu San maklum, agaknya mereka berhadapan dengan orang jianghu yang lurus. Ia tak membuang kesempatan. Lekas menghormat pula. 

“Locianpwee, kami hidup tertekan dan ketakutan. Sekarang kami akan memenuhi saran dari anak ini. Akan besar sekali hati ini jika engkau membantu kami pula.”

Si Kakek saling pandang dengan anak perempuan di sisinya. 

“Bagaimana, Souw Lian? Apakah kau mau mengasah kemampuanmu?”

“Tentu saja, Kong-kong!” cetus anak itu antusias, dengan mata berbinar-binar.

“Nah. Cucuku sudah setuju. Baiklah, kami akan membantu!”

“Kita serbu sekarang saja, Kong-kong!” desak bocah perempuan itu sambil mengacungkan tinju mungilnya ke udara.

Suasana yang riuh, mendadak senyap. Semua orang menimbang-nimbang. Mengukur kemampuan dan membangun keberanian.

“Saya setuju.” Suara Cin Lee memecah hening. Terdengar mantap. 

Semua orang terkesiap. Gu San mengangguk-angguk mengakuri. Seorang remaja miskin saja berani mengambil sikap. Mengapa mereka tidak? Dan buat apa ditunda? Mereka sudah terkumpul semua di sini. Jadi bukan mereka yang harus menunggu pembalasan, tapi orang-orang Ang-i-kaipang itulah yang akan mengenyam kerugian!

Akhirnya semua orang bersepakat untuk menyatukan kekuatan. Berangkatlah mereka secara rombongan. Di jalan menuju markas Ang-i-kaipang yang dulunya sangat mereka takuti, si kakek sempat memperkenalkan diri sebagai pengembara bernama Yong San, dan cucunya adalah Souw Lian. 

Singkat kata, mereka tiba di depan markas Ang-i-kaipang. Ketua perkumpulan pengemis baju merah sendiri yang keluar menghadapi mereka. 

“Ah, kiranya aku berhadapan dengan Ketua Pek-i-kaipang Yong San! Pantaslah orang-orang ini berani menyatroni markas kami! Kita sudah punya batas wilayah masing-masing! Tak pantas Pek-i-kaipang ikut campur!” kata ketua Ang-i-kaipang dengan nada keren, menyembunyikan gentar. Kehebatan ilmu silat kakek berambut putih itu sudah terkenal di dunia jianghu. Meski ia belum pernah melihat dan mengukur sendiri setinggi apa ilmu kakek itu, tapi dari kabar-kabar burung digambarkan bagaimana kelihaiannya yang membikin meremang bulu kuduk. Makanya ia langsung mengucapkan kalimat yang mungkin akan membuat orangtua itu segan turun tangan.

“Aku bukan pangcu atau anggota dari Pek-i-kaipang lagi meski masih memakai baju kesayangan ini! Dan aku mendukung perjuangan bocah ini beserta para pedagang di pasar yang sering kalian palak!”

Ketua Ang-i-kaipang menyeringai. Diam-diam kaget dan mulai jerih.

“Apa yang menyebabkan Pek-i-kaipang terpecah hingga kehilangan tokohnya?”

“Ketua baru telah kehilangan akal! Meruntuhkan nama baik Pek-i-kaipang yang kudirikan dengan susah payah! Mereka telah menghinakan diri dengan menghamba pada pejabat korup! Melibatkan diri dalam politik kotor! Sekarang, aku tak ada hubungannya lagi dengan Pek-i-kaipang! Mereka sudah kubasmi dengan tangan sendiri!” Kakek Yong San tiba-tiba emosi. “Agaknya kalian tiada berbeda!”

“Hahaha, lalu apa masalahnya? Itu urusan dalam kelompokmu sendiri! Seharusnya tak usah mengurusi kelompok lain!” 

“Kewajiban menumpas kezaliman yang mendorongku terpaksa mengurusi kalian! Sekarang, bertobatlah. Lalu tinggalkan tempat ini!” 

“Wah, tak bisa seenaknya begitu, Kakek Tua!” tukas ketua Ang-i-kaipang setelah mengukur kemampuan. Ia punya anak buah yang cukup banyak dan pintar silat, dengan jumlah setara dengan jumlah orang-orang yang datang ini. Di pihak kakek itu hanyalah para pedagang lemah dan dua orang anak yang masih bau kencur. Ia menilai, satu-satunya yang perlu ditakuti hanya kakek tua itu. Agaknya kalau kakek itu dikeroyok oleh dirinya dan beberapa anak buahnya, tentu tidak akan  sulit merobohkannya. 

“Kalau kau tidak mau pergi secara baik-baik, kami akan mengusirmu dengan kekerasan!” seru Gu San sambil menudingkan telunjuknya.

“Coba saja!” dengus Ketua Ang-i-kaipang.

Pertempuran pun tak terelakkan. Alangkah terperanjatnya si ketua perkumpulan pengemis baju merah tatkala melihat dua anak yang sedari tadi diam saja di samping si kakek, ternyata memiliki kemampuan luar biasa. Apalagi seorang yang tampak berusia lebih tua. Berkelebatan dengan gerakan segesit burung walet. Setiap serangannya langsung mengenai sasaran. Satu demi satu anak buahnya terjungkal di tangan anak lelaki itu. Si anak perempuan tak kurang lincahnya. Dua orang anak ini saja sudah cukup untuk melumpuhkan sepuluh orang anak  buahnya. Dan Kakek Yong San menghadapi dirinya dengan santai sekali. Dikeroyok lima orang, orangtua itu sama sekali tak bergeser kemana-mana. Namun, setiap kali lengannya bergerak, ketua Ang-i-kaipang dan anak buahnya berkali-kali terpelanting, jatuh bangun hingga akhirnya tak sanggup bangkit lagi. 

Akhirnya, perseteruan itu dimenangkan oleh pihak para pedagang pasar. Mereka bersorak sorai, lalu mulai melempari markas Ang-i-kaipang dengan sumbu api.

Salah seorang anak buah Ang-i-kaipang yang berhasil kabur, melapor pada aparat. Namun, aparat pemerintah daerah  ternyata memilih diam, tak berani mengambil tindakan. Tentu saja. Karena jika memberikan pembelaan, warga yang tersudut akan memberikan kesaksian yang justru akan memberatkan aparat, dan di depan hukum akan terbukti bahwa dia terlibat.

Orang-orang Ang-i-kaipang berhasil dilumpuhkan dan diusir.

Para pedagang mengadakan pesta besar. Tatkala mereka ingin mengucapkan terimakasih dan memberikan hadiah kepada Kakek Yong San, cucunya dan Cin Lee, tiga orang tersebut tahu-tahu sudah menghilang.

✿✿✿

Bersambung

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang