Pulang (2)

155 18 5
                                    

Pada akhir musim gugur, Cin Lee memutuskan untuk meninggalkan Pulau Yingjun. Ia harus menyelidiki motif pengepungan dan rencana pembunuhan atas dirinya.

Mengapa pula musuh-musuh kaisar mengincar Putri Ming Ji Li? Keuntungan apa yang mereka peroleh, mengingat Putri Ming Ji Li hanyalah putri bungsu kaisar dari istri kedua?

Ia juga mengkhawatirkan keluarganya di pusat ibukota. Apakah keluarganya juga terimbas? Apakah mereka baik-baik saja?

Sepanjang perjalanan, ia mendengar kabar mengenai pembumihangusan markas Hek-i-pang di bukit Sunyi, tertangkapnya beberapa tokoh persilatan di dunia jianghu oleh pemerintah dan dihukum matinya hampir selusin pejabat istana yang bersekongkol untuk melakukan pemberontakan terhadap kaisar.

Cin Lee memang sudah mendengar kabar yang sama dari guru Yong San. Namun, ia tetap ingin memastikan langsung, sehingga memutuskan untuk pulang ke rumah kakeknya di kota raja.

Perjalanannya berakhir begitu tiba di rumah kakeknya. Kepulangannya menimbulkan kegemparan seisi rumah dan seluruh anggota keluarga.

Semua orang terperanjat karena menganggap dirinya sudah tewas. Neneknya bahkan sampai histeris dan jatuh pingsan saking terkejutnya.
Kakeknya, Jenderal Gak Bun, sangat bahagia.

“Cucuku, tak terbilang rasa syukurku, melihat kau kembali dalam keadaan baik-baik saja. Ini kejutan luar biasa bagi kami semua. Kau tahu? Kami sangat berduka saat mengira kau telah terbunuh. Bukti-bukti kematianmu kuat sekali. Semua orang terkecoh.

Sayangnya, kami memang lalai, tidak mencek detil wajah mayat yang diidentifikasi sebagai dirimu itu. Saking banyaknya luka. Yang membuat kami bertambah yakin bahwa jenazah itu dirimu, adalah adanya bukti berupa kalung emas berliontin merah yang disertakan pada mayat itu.

Kalung itu adalah warisan keluarga kita secara turun temurun. Sengaja hanya dihadiahkan kepada ayahmu, untuk mengikat hatinya,” Gak Bun bertutur dengan sepasang mata berkaca-kaca.

Paman-paman dan bibi-bibinya bergantian memeluk dan mengungkapkan kebahagiaan mereka.

“Kami bahagia karena ternyata kau masih hidup. Lee-Yingjun. Kami menyesal sekali karena dulu kurang teliti dan tidak menyelidiki lebih lanjut perihal kematian dirimu. Perhatian kami tersedot untuk membantu tugas Pangeran Zhu Yun Wen, demi menumpas pemberontak.”

Salah seorang pamannya, Gak Han, yang menjabat sebagai perwira militer, mengutarakan penyesalan mendalam.

“Tidak apa-apa, Paman,” sahut Cin Lee sederhana.

“Aku jadi penasaran. Ingin tahu, siapa sebenarnya mayat yang  kami kira adalah dirimu itu. Kita harus menelusuri, siapa saja saksi prajurit di pihak Lan Feng yang turut serta dalam penyerangan ke bukit Sunyi waktu itu. Bertanya pada Lan Feng atau Pouw Ki tidak mungkin, karena dua orang itu telah dihukum mati. Kalau tidak salah, tidak semua laskar Lan Feng dihukum gantung. Sebagian dianggap anak buah yang hanya menuruti perintah atasan.” Gak Bun kerutkan keningnya.

“Mereka semua hanya dipenjarakan, Ayah,” kata Gak Han, “aku akan menyelidikinya!”

“Bagus! Selidikilah, Han-ji!”

“Oiya, Kong-kong,” sela Cin Lee, teringat sesuatu, “kalung peninggalan ayah dan ibuku berarti tidak hilang. Bolehkah aku memintanya?”

“Tentu saja! Bahkan sepasang cincin perakmu pun telah ditemukan. Kau harus segera mencari istrimu setelah ini!”

Mendadak neneknya ribut memanggil untuk persiapan pesta dadakan yang akan diadakan sore hingga malam hari. Pesta itu sebagai tanda bersyukur atas kembalinya Cin Lee.

Setelah ditelusuri para saksi mata dari pihak pasukan Lan Feng yang dipenjara, akhirnya rahasia terkuak. Kiranya mayat itu hanya akal-akalan Lan Feng saja. Memanipulasi semua orang, dengan sengaja membunuh seorang pemuda desa berperawakan sama dengan Cin Lee dan diberi kostum serupa. Pedang Gak Cin Lee berikut kalungnya yang tercecer, disertakan sebagai pelengkap identitas.

Menurut kesaksian para prajurit, Lan Feng melakukannya karena cemburu. Ingin Putri Ming menjanda sehingga bisa dinikahinya. Tetapi niatnya itu gagal karena konspirasinya terbongkar.

Jenderal Gak Bun kemudian mengadakan pesta selamatan sederhana untuk menyambut kembalinya sang cucu yang dikira sudah tewas. Mereka tidak merayakannya secara besar-besaran untuk bersimpati pada keluarga istana yang masih berduka karena belum menemukan Putri Ming Ji Li selama hampir setahun ini.

Kabar bahwa Cin Lee masih hidup pun disampaikan kepada Kaisar Ming Thai Zhu dan istrinya, Siauw Ing.

Cin Lee sebenarnya merasa sungkan, karena tak terbiasa dengan kemeriahan. Namun, ia tak menampakkan rasa kurang nyaman itu, untuk menghargai kakek dan neneknya.

Seluruh kerabat dan pejabat terdekat keluarga Gak menghadiri pesta tersebut. Gak Cin Lee menjadi pusat perhatian. Nenek Cin Lee, Kiok Hwa, mendandani sang cucu layaknya seorang bangsawan. Menjelmalah pemuda itu menjadi sosok yang berkilauan. Wajahnya semakin tampan, bercahaya. Dan tubuhnya yang tinggi atletis itu tampak semakin gagah dalam hanfu yang indah dan mewah.

Putri-putri bangsawan berebut mengelilinginya. Lupa, kalau sang bintang sudah ada yang punya. Cin Lee semakin canggung. Dia tak suka berada di tengah orang banyak seperti ini. Apalagi dikerubungi putri-putri cantik yang wangi.

Malam ini, Cin Lee kembali menempati kamarnya di masa kecil. Bulu kuduknya agak merinding. Jantungnya membeku oleh kenangan buruk yang menghantam tak tertangkis lagi, saat matanya tertumbuk pada lukisan wajah ayah dan ibu yang masih terpelihara di dinding kamar.

Ia menurunkan lukisan tersebut. Menggulungnya. Kemudian dilemparkan ke pojok ruangan begitu saja. Wajahnya semakin murung.

Rumah ini. Kamar ini. Membuat hatinya terasa sangat gelap dan letih.
Pemuda itu membanting tubuh ke atas kasur empuk yang beralaskan seprai lembut dan harum. Kasur yang telah bertahun-tahun tak pernah dinikmatinya. Berusaha pejamkan mata.

Teringat akan Putri Ming Ji Li, membuatnya emosinya tiba-tiba naik.
Pemuda ini berkeras menghadirkan bayangan lain di benaknya. Wajah Aisha, Souw Lian, dan Ciauw Si, hadir silih berganti, lalu memudar. Suram.

Paras Ming Ji Li yang berseri-seri serta mata bintangnya yang kebiruan, menyeruak kembali dengan cepat. Begitu terang dan jelas, seakan-akan bisa digapai di alam khayalnya.

Kemana hilangnya Ming Ji Li?

Cin Lee mengepal tinju dengan dada terasa sempit. Ming Ji Li lenyap, tepat di malam pernikahan. Berganti pakaian pengantin pun tak sempat. Terakhir kali berjumpa, gadis itu masih terbungkus gaun pengantin merah yang berkilauan.

Interaksinya dengan Ming Ji Li terlampau sedikit dan sama sekali tidak dekat. Akan tetapi, mengapa lenyapnya gadis itu, membuat dirinya seakan kehilangan sesuatu yang berharga, yang senantiasa melekat padanya?

Pemuda itu terus tersiksa kegelisahan hingga fajar menjelang. Sampai kapan ia terus melarikan diri dari badai perasaan ini? Seberapa kuat ia mampu bertahan?

Tangannya meraih Al-Qur’an. Membacanya hingga airmata menitik oleh haru yang membuncah. Kesejukan menyusupi relung batinnya saat memasrahkan diri pada Yang Maha Kuasa.

🌹🌹🌹

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang