Sayup suara gemuruh menyerbu gendang telinga. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata. Menemukan lampu lampion remang-remang menerangi tempatnya berada.
Ia mencoba bangkit. Sekujur tubuhnya sakit, tapi dipaksanya juga untuk bergerak. Rasa ingin tahu yang besar mengalahkan rasa nyeri dan pegal-pegal yang terasa meluluhlantakkan sendi-sendi.
“Kau sudah siuman, Nak?”
Satu suara lembut mengejutkannya. Gadis itu menoleh. Menemukan wajah seorang nenek, berambut putih riap-riapan. Kulit keriputnya nampak pucat. Bibirnya menyeringai, menampilkan senyum lebar yang memperlihatkan gigi-geligi kehitam-hitaman.
Sebenarnya senyum ramah. Namun, gigi-gigi yang tampak di sela bibirnya, membuat senyum itu jadi terkesan mengerikan.
Nenek itu mengenakan hanfu sangat indah, terbuat dari sutra kuning dengan bordiran benang emas di pinggir-pinggirnya.
Bulu kuduk Ming Ji Li merinding. Ia melihat sekeliling dan merasa seram. Tempat itu hanya diterangi sebuah lampion. Berdinding marmer putih licin. Tak nampak sebuah pun perabotan rumah tangga. Samar, suara gemuruh tiada hentinya terdengar entah di mana.
“Syukurlah kau berhasil kuselamatkan dari orang-orang itu,” ucap si nenek sambil menyodorkan mangkuk kaca berisi cairan coklat berbau anyir.
“Minumlah! Ini obat untuk memulihkan stamina.”
Ming Ji Li menyambutnya dengan ragu. Bau cairan tersebut membuatnya kepingin muntah. Ia menggeleng dengan muka meringis.
Namun, si nenek melotot, menakutkan. Terpaksa diminumnya cairan tersebut sambil memencet hidung. Pahit. Perutnya langsung bergolak. Mual. Ingin muntah.
Si nenek terkekeh-kekeh. Lalu menyorongkan lagi sebuah gelas porselen berukir liukan akar yang cantik.
“Madu,” katanya singkat.
Ji Li cepat-cepat menyambar gelas itu. Harum dan manisnya madu, seketika menetralisir segala rasa tak enak.
“Anak baik, anak cantik, sungguh berbahaya berkeliaran di atas bumi tanpa kepandaian silat yang mencukupi. Beruntung aku melihatmu. Jika tidak, entah akan bagaimana nasibmu di tangan para penjahat itu!”
Ming Ji Li bersyukur bisa lepas dari cengkeraman Jenderal Lan Feng. Namun, hatinya bertanya-tanya, bagaimana nasib Cin Lee.
Melihat wajah yang tampaknya ingin menanyakan sesuatu, si nenek menggeleng-gelengkan kepala.
“Pemuda itu tak bisa diselamatkan.”
Ji Li tercengang.
“Dia sudah mati.” Si nenek memperjelas, dengan santai, tanpa empati.
Jantung sang dara mendadak beku. Arus darahnya menjadi dingin. Mata birunya beriak. Tak tahu apakah harus menangis ataukah gembira atas kenyataan ini. Kepala Ji Li terkulai tanpa daya. Penyesalan menyerbu sudut hati. Cin Lee telah menjadi korban konspirasi gara-gara dirinya. Tuhan pun tampaknya tak mengizinkan dirinya membalas budi baik pemuda itu. Walaupun tak menyukai pernikahan dengan Cin Lee, ia tak pernah mengharapkan kematian pemuda itu.
Gadis ini pejamkan matanya sejenak untuk menenangkan batinnya yang bergetar.
Nenek Wan Ci terbatuk kecil.
“Pentingkah dia bagimu?”
“Hem ..., seperti itulah.” Ji Li menjawab ambigu.
Wan Ci menyipitkan mata tanpa menanyakan apa-apa lagi.
“Beristirahatlah.” Si nenek beranjak.
Ji Li lekas membuka matanya. Pikirannya segera teralihkan.
“Terimakasih atas pertolonganmu, Nek. Namaku Sian Li. Bolehkah aku mengenal nenek? Dan apakah ini rumahmu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Fiksi SejarahSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...