Aisha (2)

272 28 4
                                    

Kakek berjenggot putih dengan tasbih yang tak lepas dari jari jemari itu, hanya tersenyum.

“Kau takut jika hatimu terluka karena cinta?”

Cin Lee mengangguk, jujur.

“Ayah dan ibu saya menikah karena dijodohkan. Ternyata ibu tak mencintai ayah. Cinta ayah tak berbalas. Mereka berdua sama-sama menderita. Gara-gara cinta.”

Guru Ahmet Khan menghela nafas panjang, diembuskan pelan. Lalu geleng-geleng kepala.

“Anak baik, mengapa kau sandarkan sikapmu pada tragedi masa lalu? Bukankah selayaknya seorang hamba Allah itu, pasrah pada ketetapan Rabb-Nya? Bukankah persoalan yang paling mendasar itu terletak pada pengelolaan cinta? Apakah cinta diputuskan dengan hawa nafsu, ataukah disandarkan pada aturan Tuhan?”

Si anak muda tercenung lama. Guru Ahmet Khan diam pula menanti tanggapan.

“Tampaknya ..., saya harus menundukkan perasaan ini lebih dahulu dengan jalan merantau. Siapa tahu ... di dunia luar sana, saya menemukan petunjuk untuk memulihkan diri ini.”

Akhirnya Cin Lee mengungkapkan pikirannya.

Guru Ahmet Khan menepuk-nepuk bahu muridnya dengan sepasang mata berkaca-kaca.

“Baiklah, Nak. Aku bisa memahami. Semua memang butuh proses. Semoga Allah meridhai ikhtiarmu.”

✿✿✿

Jendela pondok kecil yang berseberangan dengan jendela kamarnya, hari ini tak kunjung terbuka. Padahal biasanya setiap pagi, jika Aisha membuka jendela kamarnya, maka jendela di seberang itu akan ikut terbuka. Entah kenapa. Seperti janjian saja. Lalu di ambang jendela itu, akan muncul bayangan seraut wajah yang sangat tampan dengan sikap dingin penuh misteri. 

Pemuda itu memang tidak seperti pemuda kebanyakan. Pendiam dan alim. Sikapnya pun acuh tak acuh pada wanita. Padahal tidak sedikit gadis-gadis di Uighuristan yang memujanya. Justru di situlah letak daya tariknya. Bahkan, Aisha yang sangat menjaga hati pun lama-lama tertarik. Tak ada yang bisa menebak, apa yang tersimpan di balik sikap dingin pemuda itu. Betapa Aisha ingin tahu dan mengaguminya, tapi memilih rapat menyimpan rasa ini di kesunyian.

Benih-benih asmara mulai tersemai di dada Aisha kala pemuda itu memuji masakannya saat bertandang di hari raya. Sejak itu, Aisha sesekali mengirimi makanan lewat murid-murid kakeknya. Cin Lee tak pernah menolak kiriman itu. 

Simpati pun tumbuh menjadi kuncup-kuncup mungil. Akhirnya mekar dan terus berbunga. Hari-hari terasa lebih semarak. Seluruh aktivitasnya menjadi lebih berjiwa. Asanya terus membuai, melambung, hingga tiba-tiba kakeknya datang membawa sebuah kabar yang meluluh lantakkan segunung harapannya. 

“Cucuku, Cin Lee memintaku untuk menyampaikan permohonan pamit padamu,” kata Guru Ahmet Khan hati-hati.

“Pamit?” Gadis Uighur bermata kehijauan ini agak tersentak. Menunduk, menutupi keterkejutan hatinya. 

“Dia pergi merantau, Aisha. Sudah berangkat pagi-pagi sekali. Entah kapan akan kembali.”

Aisha sunyi terdiam. Paras manisnya pelan-pelan memucat. Pantaslah jendela pondok Cin Lee tak terbuka hari ini. Rupanya pemuda dari suku Han itu sudah pergi. Gadis ini terduduk lemas di hadapan kakeknya. Sejuta tanda tanya mengepung isi kepalanya.

Mengapa Cin Lee pergi mendadak sekali? Mengapa tidak pamitan sendiri, malah mewakilkan pada kakeknya? Ini sangat mengejutkan. Ia tak sanggup, tak sanggup kehilangan. Apa yang harus ia ungkapkan? Meminta kakeknya untuk mengejar Cin Lee dan menyuruhnya bertahan? Tidak mungkin. Di antara mereka tidak ada ikatan apa-apa. Cin Lee pun tidak pernah melontarkan janji apapun. Hanya ada angan yang mendekam di benak Aisha. 

Guru Ahmet Khan yang bijak, mengerti kekecewaan Aisha. Ia menepuk pelan ubun-ubun cucunya yang yatim piatu sejak kecil itu sambil membisikkan doa. 

“Cucuku yang baik dan penyabar, jika dia memang jodohmu, maka Allah akan mengembalikannya untukmu,” kata sang kakek seraya tersenyum.

Gadis itu mengangguk. Lantas menyingkir pelan-pelan dari hadapan kakeknya, sambil meneteskan air mata diam-diam. Sejak itu ia memendam harapan sambil berjanji dalam hati akan terus berdoa dan menanti. Tak peduli, berapa lama masa penantian itu. Karena cinta ini terlanjur berkarat hingga ke tulang sumsum.

✿✿✿

Cin Lee sengaja berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari pertemuan yang akan  mengundang banyak pertanyaan dari warga suku Uighur.

Sebenarnya ia masih betah menetap di Uighuristan. Penduduknya yang tulus, ramah dan bersahaja, sudah dianggapnya seperti keluarga. Akan tetapi, ia khawatir terjerat masalah pernikahan, yang cepat atau lambat, pasti akan dihadapinya. Usianya sudah cukup dewasa untuk memahami arti tatapan gadis-gadis Uighur dan sapaan memancing dari orangtua mereka. Maka ia putuskan pergi, tanpa tahu harus kemana. 

Ia juga sengaja tidak berpamitan dengan Aisha. Meskipun mereka jarang bertegur sapa, tapi tak bisa dipungkiri, di antara semua gadis Uighur, hanya perhatian Aisha yang cukup berkesan di hatinya. Cin Lee khawatir, jika berjumpa Aisha, hatinya lemah. Sedangkan di sisi lain, ia belum yakin mampu membina rumah tangga.

Selama mengembara, ia tetap tekun melatih ilmu silatnya dan tak pernah melalaikan amanah yang dituntut dalam agama. Kitab pemberian ayahnya ternyata memang betul berisi teori ilmu silat tinggi, mengandung filsafat yang dalam. Dua kitab itu ditulis oleh sepasang suami istri. Kitab silat harimau jantan dan kitab silat harimau betina. Masing-masing mengandung gerakan spesifik sesuai jenisnya. Pada jurus pamungkas terdapat gerakan berpasangan. 

Tentu saja Cin Lee hanya bisa menguasai silat harimau jantan. Sedangkan silat harimau betina, ia hapalkan saja gerakannya di luar kepala, tapi tak hendak dipraktekkan karena terlalu feminim, hanya cocok untuk perempuan. 

Cin Lee memberanikan diri terjun ke dunia persilatan, terutama di wilayah barat yang bergurun pasir panas dan berbatu cadas. Hanya mendekati dan berteman dengan para pendekar golongan putih. Namanya dengan cepat melonjak jadi buah bibir di kalangan gadis-gadis jianghu karena kehebatan sepak terjang yang berpadu dengan ketampanan luar biasa. Ditambah dengan sikap dingin yang membuat para wanita penasaran dan kian tergila-gila.  

Peringatan ayahnya dan petuah Guru Ahmet Khan mengiang silih berganti, tumpang tindih di benaknya setiap kali ia dihadapkan pada kondisi terpaksa untuk berurusan dengan gadis-gadis itu. Sering ia merenungi keanehan dirinya ini. Ia tak pernah tergetar hati atau pun tertarik kepada seorang wanita. Kalau pun ia terlibat perkenalan dengan lawan jenis, itu hanya kebetulan, tak berlangsung lama, dan tak pernah ada perasaan khusus.

Jika tertangkap olehnya gelagat aneh tanda ketertarikan dari seorang gadis, maka yang timbul dalam dirinya malah kenangan akan derita ayahnya disusul perasaan benci dan muak. Akan tetapi, dengan cepat, ia berusaha bayangkan wajah Guru Ahmet Khan untuk meredamnya. Setelah itu, ia akan berpaling dan menjaga jarak sejauh-jauhnya dari gadis itu sambil memperbanyak istighfar dan ibadah malam.

Kesukaannya berkelana dan tidak pernah menetap lama di satu tempat, membuatnya dijuluki si Pendekar Kelana.

Mulailah ia mengembara dan malang melintang di dunia persilatan wilayah Barat dengan nama itu. Darah petualang dari sang ayah, rupanya telah mengisi urat-uratnya. Selalu haus akan suasana baru. Sangat menikmati setiap tantangan, yang meningkatkan kualitas ilmu silatnya. Menambah pengalaman tempurnya. Apalagi ia selalu rutin, tekun dan ulet melatih diri. Tak heran jika makin hari, kelihaiannya semakin maju pesat. Keterampilan memainkan ilmu pedang, kian menggiriskan. Ia juga mulai terkenal dengan jurus cakar harimau dan gerengan yang menggentarkan dada. Sehingga dalam tempo dua tahun saja, ia berhasil melesat ke jajaran papan atas para pendekar pilih tanding di wilayah Barat. 

Namun, semua itu tak membuatnya tinggi hati. Cin Lee, tetaplah apa adanya dan sangat memahami hakikat diri. Sikap ini membuatnya cukup dikagumi sekaligus disegani kawan maupun lawannya. 

✿✿✿

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang