Gak Cin Lee, sang pendekar petualang, mulai dirayapi perasaan rindu terhadap mendiang ayahnya, setelah bertahun-tahun melanglang buana. Tumbuh keinginannya untuk menjenguk makam sang ayah di pulau kediaman mereka dulu. Maka pulanglah ia ke pulau tersebut pada musim dingin.
Pemuda tangguh ini menyeberangi selat, dengan mengandalkan potongan batang kayu bakau yang diikat menjadi rakit. Tak menemui banyak kesulitan saat menghadapi tempuran gelombang, karena laut telah menjadi keluarganya selama sembilan tahun.
Dengan mudah pula, ia menemukan pulau Yingjun, di tengah gugusan kepulauan yang jumlahnya ratusan di samudera Tiongkok Selatan.
Itu karena dahulu, ia telah ratusan kali bolak-balik dari pulaunya ke daratan Tiongkok. Jadi ia sudah hapal betul jalurnya. Lagipula, Pulau Yingjun sendiri, sebenarnya terletak hanya satu jam perjalanan dari daratan selatan Tiongkok. Bagi orang awam yang belum pernah ke sana, tentu akan sukar menemukan pulau mana yang berpenghuni dan mana yang tidak dari sekian ratus pulau kecil yang terserak di tengah samudera luas tersebut.
Musim dingin bersalju, tak begitu mempengaruhi pantai hangat di kepulauan Tiongkok Selatan ini. Hanya menimbulkan kabut tipis dingin, yang memang sedikit banyaknya berpengaruh pada jarak pandang. Namun, itu tak jadi masalah bagi indra penglihatan Cin Lee yang telah terlatih tajam.
Pendekar muda itu mengemudikan rakitnya dengan energi maksimal, sehingga meluncur dengan kecepatan tinggi di atas ombak. Kemampuannya sekarang, sudah jauh berbeda dengan dahulu. Kalau dulu, ia perlu waktu satu jam perjalanan. Sekarang, tak sampai sepemasakan nasi, ia telah tiba di pulau kenangan itu.
Pondok kecilnya tampak lapuk. Atapnya bolong di sana sini. Saat Cin Lee membuka pintu, hawa pengap menyeruak. Ia melihat laba-laba telah mengambil alih isinya sebagai sarang. Beberapa kelelawar bercuitan dan terbang keluar, begitu terang siang menerobos masuk.
Tikus-tikus mencicit ribut dan berlarian menyusup-nyusup ke lubang manapun yang bisa dimasuki untuk bersembunyi.
Beberapa peralatan dapur terbuat dari tanah, masih teronggok di salah satu pojok. Ranjang reyot tempat tidur ayahnya dulu, tergeletak menempel pada dinding sisi kirinya. Bayang-bayang sosok ringkih sang ayah, seolah masih terbaring di sana.
Keharuan menyergap. Cin Lee mengusap tetes bening yang meloncat dari pelupuk matanya. Ia termenung sesaat. Pelan-pelan meraba saku baju bagian dalamnya. Menggenggam kalung liontin merah, peninggalan ayah ibunya, untuk melepaskan kerinduan.
Setelah menguasai perasaannya, Cin Lee keluar dari pondok dan menuju makam ayahnya yang terletak di samping pondok.
Di makam tersebut, ia terpekur. Membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Berdo'a. Lalu kala datang waktu ibadah, ia jalankan sholat di tempat bersih, tak jauh dari situ.
Cin Lee lalu menimbang-nimbang, apakah akan memperbaiki pondoknya atau tidak. Akhirnya, walaupun belum ada niatan untuk kembali lagi ke tempat ini, demi kenangan, pondok itu diperbaiki dan dibersihkannya.
Hari itu ia memutuskan untuk bermalam. Selepas isya, ia menikmati sebentar pemandangan laut yang sudah lama tak dilihatnya.
Anak muda itu berdiri di tepi pantai. Menatap rembulan bulat yang tampak rendah di ujung laut, nyaris tercelup air. Cahayanya jatuh di permukaan laut, menghasilkan kilau cemerlang keperakan.
Pemuda itu memuji Allah. Menggenggam kalung liontin merah. Tiba-tiba teringat pesan terakhir ayahnya.
Ayah salah jika melarangmu menikah. Ayah hanya khawatir kau gagal seperti ayah. Jangan biarkan cinta menguasaimu. Kau akan sakit hati. Hati-hati memilih istri. Kalung ini, milik ibumu. Berikan pada calon istrimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
HistoryczneSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...