Nona Cilik (2)

345 23 0
                                    

Cin Lee serasa disengat kalajengking. Tergesa melepaskan pondongan. Tepatnya, menjatuhkan tubuh gadis itu hingga terbanting ke atas pasir berselimut salju.

Gadis remaja itu bangkit perlahan sembari mengusap-usap bokongnya. Ia tidak mengaduh. Hanya bibir merahnya mengeluarkan desisan nyeri. Punggung dan pantatnya pedas karena terhempas.

Setelah berdiri cukup tegak, gadis ini merapikan hanfu indahnya. Mulutnya sudah menyiapkan semburan keluhan. Namun, sosok yang tadi di depannya, tahu-tahu sudah menghilang.

Ia menyipitkan mata. Menangkap bayangan kebiruan nun jauh di sana, melangkah pergi, menyelinap di antara pohon-pohon kelapa.

Gadis itu menggelengkan kepala. Menepis ragu yang sempat singgah di hati. Apakah akan memanggil pemuda itu, atau tidak. Sebab bagaimanapun, pemuda itu telah menolongnya. Barangkali ia bisa minta bantuan pemuda itu lagi untuk mengantarnya pulang. Ia asing dengan tempat ini.

Akan tetapi, kalau pemuda itu mengantarnya, apa pandangan orang-orang saat menyaksikan seorang putri bangsawan seperti dirinya berjalan bersama seorang pemuda? Gadis itu memutuskan untuk membiarkan bayangan biru tersebut menghilang dari pandangannya.

Ia melempar pandang ke sekelilingnya dengan hati diliputi kebingungan. Dimana ini? Tampaknya wilayah ini jauh dari pusat ibukota, sehingga lebih lambat memasuki musim semi daripada ibukota. Bagaimana ia bisa sampai sejauh ini? Ia benar-benar tak ingat apa-apa. Yang diingatnya hanyalah, terakhir kali ia duduk di atas punggung kuda putih hadiah ulangtahunnya. Berpacu menuju perbatasan yang telah disepakati dalam lomba balap kuda. Lalu tiba-tiba kudanya menjadi liar dan berlari tak terkendali. Begitu memasuki hutan perburuan, mendadak pandangannya gelap, kesadarannya lenyap.

Tatkala tersadar, ia menemukan dirinya berada di dalam ruangan minus cahaya. Tanpa jendela. Hanya sebuah pintu dengan jeruji besi terkunci. Tak seorang pun di situ. Seseorang bertopeng hitam, tanpa bicara, memasukkan makanan lewat jeruji besi setiap tiga waktu.

Bagaimanapun kuat dan seringnya ia berteriak, tak seorang pun yang menyahut. Ia terpuruk di kegelapan. Sadar bahwa ia diculik. Inilah resiko pahit yang harus ditanggungnya. Tak banyak orang yang mengetahui, di balik keagungan istana, tersimpan intrik kejam.

Ia, Putri Ming Ji Li, memang masih muda dan dimanja, tetapi ia tidak tenggelam dalam kepolosan dunia remaja. Ini berkat ibunya yang tekun mendidik dan melatih kecerdikannya.

Makanan dan minuman yang diantarkan oleh penculik, sebelum dimakan, dites dengan tusuk rambut perak milik ibu, yang tak pernah berpisah dari tubuhnya. Tusuk rambut itu berguna untuk mendeteksi racun. Ia lega karena hidangan tersebut tak mengandung racun. Mungkin si penculik tak menginginkan kematiannya. Maka tanpa ragu, Ming Ji Li selalu menyantap habis makanannya. Ya, bagaimanapun kondisinya, ia harus makan agar bertahan hidup.

Ia tak tahu berapa hari sudah berlalu di kurungan gelap ini. Tempat tidurnya hanya beralaskan jerami. Sesekali suhu udara menurun, menandakan malam tiba. Ia meringkuk dan menggigil kedinginan. Saat udara menghangat, berarti hari sudah siang.

Setelah lima belas tahun hidup dalam kemewahan istana, kemudian mengalami nasib seperti tahanan penjara, tentu dapat dibayangkan penderitaannya. Air matanya benar-benar terkuras.

Pada siang hari ketiga dalam hitungan Ming Ji Li, akhirnya pintu penjara terbuka. Tanpa sempat bicara apa-apa, mulutnya dibungkam, matanya ditutup dan tubuhnya dipanggul.

Ia merasa dirinya dibawa melayang seolah terbang. Kemudian udara menjadi lebih dingin. Telinganya mendengar debur ombak.

Saat itulah penyumbat mulut dan penutup matanya dibuka. Tahu-tahu ia menemukan dirinya berada di tepi pantai bersalju. Dipanggul orang bermuka kasar dan dikelilingi orang-orang baju hitam.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang