"Tidak ada hantu di sungai itu!" tegas Cin Lee sekali lagi sambil menatap wajah-wajah para tokoh masyarakat.
Orang-orang yang berkumpul di rumah kepala desa Bun An terlihat ragu-ragu. Bagaimanapun, mitos itu telanjur tertanam lama di benak mereka. Alih-alih memperbaiki kekeringan yang melanda desa sekitar kaki gunung itu, mereka jauh lebih takut jika kehilangan nyawa.
"Tidak perlu khawatir. Insya Allah, saya sanggup menghadapi nenek dan si muka pucat itu. Saya hanya butuh bantuan kalian untuk bersama-sama menyelidiki tempat tersebut lebih dekat supaya kita bisa cepat menemukannya!"
Ciok Kam tampak kurang yakin. Ia tak ingin tragedi terulang kembali. Selama ini mereka sudah merasa aman. Mereka tak ingin cari keributan dengan mengusik-ngusik daerah sungai tersebut.
Namun kemudian, beberapa ibu-ibu dusun yang menyertai rapat itu untuk menghidangkan penganan, tiba-tiba mengacungkan jari, minta diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat.
Ciok Kam mengangguk, mempersilakan. Ternyata yang maju bicara mewakili ibu-ibu, adalah istrinya sendiri.
"Setiap musim kering, dusun kita ini dilanda kelaparan dan penyakit perut. Kekurangan air telah menanduskan sawah ladang kita. Tapi kita selalu memaksa diri bertahan padahal kita tahu ada sumber air berlimpah sejarak setengah hari perjalanan dari sini.
Rasa takut telah membuat kita menderita. Dan kami, para ibu, sudah muak dengan ketakutan ini. Tak ada salahnya kita mencoba memperjuangkan sumber air tersebut!" cetus ibu itu berapi-api.Beberapa tokoh tampak tersentak. Ciok Kam tergugah pernyataan istrinya. Sejenak, ruangan itu dihantam hening, laksana diguyur air.
"Bagus sekali, Nyonya! Kami mendukung pernyataanmu dan siap membantu!" Mendadak terdengar satu suara nyaring bersemangat, menyambut kalimat istri Ciok Kam.
Pandangan semua orang teralihkan ke arah sumber suara. Di ambang pintu, tegaklah seorang gadis manis berpakaian putih tambal-tambalan, bersama seorang kakek berambut kelabu, dengan penampilan serupa.
"Shifu? Sumoi?" Cin Lee berseru gembira bukan kepalang melihat kemunculan dua orang tersebut. Ia sontak bangkit menghampiri.
Yong San-locianpwee mengangguk-angguk seraya memeluk muridnya itu. Souw Lian tersenyum manis sambil menatapnya penuh rindu.
"Shifu dan sumoi masih saja mengembara, ya? Padahal sudah mendapatkan hadiah banyak dari kaisar yang cukup untuk membeli rumah!" cetus Cin Lee.
"Ah, mana betah kami tinggal menetap? Kau maklum sajalah!" Yong San tertawa sambil menepuk-nepuk bahu muridnya.
"Pertemuan kita selalu tak disangka!"
"Ya, suheng!" Souw Lian menyahut dengan antusias. "Kebetulan kami singgah di kedai desa Lo han. Setelah mendengar cerita dari pemilik kedai tentang keanehan seseorang dengan ciri-ciri tertentu, kami langsung menebak itu adalah dirimu. Maka kami langsung menyusul kemari. Pemilik kedai itu juga mengisahkan tentang hantu! Aku tertarik sekali!"
Ciok Kam dan para tokoh masyarakat berseri-seri. Sekali pandang mereka bisa langsung menebak bahwa dua orang yang baru datang ini pastilah para pendekar dari dunia jianghu. Ini bantuan yang sangat berharga.
Niat baik Yong San dan cucunya disambut antusias dan dengan makan siang bersama.
Setelah berbasa basi dengan kepala desa Bun An dan tokoh-tokoh masyarakat, Cin Lee dan guru serta adik seperguruannya, melepas lelah di teras belakang rumah kepala desa.
Mereka ngobrol saling bertukar kabar. Ia juga menyampaikan bahwa kaisar menugaskan dirinya untuk mencari sang putri.
"Putri itu manja sekali," celetuk Souw Lian, agak sebal. "Aku pernah berebut hewan buruan dengannya. Dia manja dan sok kuasa," imbuhnya lagi dengan dada agak memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...