Bukit Sunyi yang penuh misteri. Baru selangkah menapak lerengnya, satu jebakan hampir membuat tubuh Cin Lee terpanggang ribuan anak panah.
Ia cepat mencabut dan memutar pedang. Menangkis sambil bersalto.
Bebas dari serangan anak panah, ia hampir terjeblos ke lubang dengan dasar yang dipenuhi ujung tombak runcing menghadap ke atas. Siap menyate tubuhnya tanpa ampun. Beruntung ia dikaruniai instink yang tajam. Sebelum tubuhnya melayang ke dasar, ia lebih dahulu menjejakkan kaki ke dinding lubang. Menggunakannya sebagai tahanan untuk melesatkan tubuh dengan lincah, kembali ke atas.Cin Lee menjadi kian berhati-hati. Agaknya bukit ini dipenuhi dengan jebakan. Ia meningkatkan kewaspadaan. Di tengah perjalanan, kakinya menginjak sesuatu. Begitu kaki diangkat, ledakan hebat terjadi. Beruntung ia telah melindungi diri dengan sinkang dan ginkang tingkat tinggi, sehingga letikan api yang sempat menyentuh tubuhnya saat menghindar, tidak seberapa melukai.
Jantungnya berdegup tegang. Gagang pedang digenggam kuat. Mengayun kakinya, selangkah demi selangkah. Sejauh ini, belum nampak tanda-tanda keberadaan orang-orang Hek-i-pang.
Saat mendekati puncak bukit, hambatan nampaknya belum berakhir. Kakinya hampir terkait seutas tali yang melintang. Menghalangi jalan yang dilaluinya menuju puncak. Cin Lee mundur selangkah. Meragu. Apakah akan melompati tali itu atau mengambil jalan memutar.
Akhirnya ia putuskan tak mau ambil resiko. Memilih untuk mencari jalan lain.
Pemuda ini menapak jalan meminggang bukit. Memintas semak belukar. Dan tiba-tiba ia melihat tanah lapang terbuka lebar. Tanpa pepohonan. Tanpa semak perdu atau ilalang sebatang pun. Di seberang tanah lapang itu, tegak sebuah bangunan dari batu. Bendera hitam bertuliskan Hek-i-pang berkibar mencolok di atapnya.
Cin Lee tegak dengan pedang di tangan kanan. Wajah tampannya dihadapkan ke bangunan tersebut. Setelah berkali-kali lolos dari perangkap, ia tak mau bertindak ceroboh.
Angin bertiup kencang, mengibarkan rambut dan ujung-ujung pakaian biru langitnya. Matanya sedikit disipitkan untuk mempertajam pandangan. Dadanya mendesir curiga. Mengapa tak nampak bayangan orang sedikit pun.
Ia teringat pengalamannya setahun lalu. Terjebak bersama Putri Ming Ji Li oleh tipuan semacam ini.
Matahari mulai condong ke barat. Bias jingga jatuh ke atap bangunan.
Cin Lee masih menunggu. Waktu merayap seperti siput. Pakaian atasnya lembab oleh keringat. Namun gerah tak dirasa. Kalah oleh kecemasan akan nasib Putri Ming Ji Li di balik bangunan itu.
Pijar matahari meredup. Kuasa malam mulai bertahta. Bukit Sunyi semakin senyap. Tak terdengar sedikit pun suara binatang hutan. Hanya gemerisik angin di sela dedaunan.
Mendadak suara tepuk tangan menggema. Mengoyak kesunyian.
“Hebat! Benar-benar hebat! Hanya satu di antara seribu pendekar yang mampu lolos dari jebakan-jebakan di bukit ini. Menandakan kemampuanmu tak diragukan lagi. Tenagamu akan sangat membantu perjuangan kami!”
Cin Lee menggeretakkan rahangnya. Memasang kuda-kuda dan menyalurkan hawa murni ke sekujur tubuhnya. Mata harimaunya mencorong tajam ke arah sosok pemuda berjubah hitam yang tegak di gerbang bangunan.
“Aku Can Liong, ketua baru Hek-i-pang!”
“Apa rencana kalian? Mengapa menculik tuan putri?” tanya Cin Lee tanpa basa basi. “Lancang sekali! Cepat bebaskan tuan putri sebelum pasukan kerajaan menggempur kalian!”
“Oho, sabar, taihiap. Kita bisa menegosiasikan ini lebih dulu.”
“Tidak perlu ada perundingan dengan orang-orang licik macam kalian!”
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historische RomaneSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...