Cin Lee duduk merapat pada dinding. Hal yang selalu dilakukannya setiap kali merasa hatinya melemah oleh hal-hal yang datang tak terduga. Seolah dinding yang ditempelinya itu mendatangkan kekuatan.
Ruangan yang ditempatinya sangat sempit. Terisolir. Hanya ada sebuah celah kecil pada dinding bagian atas. Kiri, kanan dan belakangnya adalah dinding batu. Di depannya ada jeruji besi yang rapat dan kokoh.
Pendekar muda ini tak pernah membayangkan bahwa ia akan merasakan dingin dan senyapnya penjara. Sebuah tempat, yang seumur hidupnya, hanya didengarnya melalui cerita tentang orang-orang yang dihukum dan terhukum. Tempat bagi para tersangka, orang jahat, bersalah dan pembawa aib. Apakah hidupnya akan berakhir di sini?
Awal-awal di dalam penjara, tangan dan kakinya dirantai. Ia disiksa, dan dipaksa mengakui kesalahan selama berhari-hari. Selama tujuh hari berturut-turut dipukuli dan ditendangi hingga babak belur. Beruntung daya tahan tubuhnya kuat sekali, sehingga tidak sampai hilang kesadaran.
Hari berikutnya dicambuki sampai pakaiannya robek-robek dan kulitnya terkelupas mengucurkan darah. Makan dan minumnya diberikan dengan cara dilemparkan begitu saja sehingga berceceran di lantai.
Benar-benar penghinaan luar biasa.
Selama itu, Cin Lee tetap bertahan dan pasrah. Sesuai pesan kakeknya. Ia tak akan melawan. Tapi ia tak sudi jika harus mengaku bersalah. Bersabar menanggung semua kepahitan ini adalah pilihan terbaik. Lagipula, ia sudah cukup bahagia, kakek masih mengingat dan mengakui dirinya sebagai cucu. Ah, bagaimana pula kabar neneknya? Paman, bibi dan sepupu-sepupunya? Ia sudah lupa wajah mereka semua.
Pada minggu berikutnya, siksaan mereda. Para prajurit melepaskan rantai yang membelenggu tangan dan kakinya. Perlakuan terhadap dirinya, melunak dan semakin membaik. Walaupun heran akan perubahan ini, Cin Lee tak mempertanyakan. Lebih baik menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sudah hampir dua minggu ia mendekam di kurungan ini. Menanti keputusan kaisar dengan tabah. Bukan perkara mudah menjalani hukuman untuk sebuah tuduhan yang sebenarnya tak pernah dilakukannya. Akan tetapi, ia bukan anak muda bermental kapas. Kerasnya hidup telah menempa jiwanya menjadi sekokoh baja.
Ia memilih berpasrah diri. Sunyi berdoa, semoga Tuhan membukakan kebenaran dan membantunya membersihkan nama baik ini.
Hari demi hari dihabiskannya dengan sholat, zikir, membaca Al-Quran dan melatih ilmu silatnya. Sesekali ia berbincang dengan para penjaga penjara yang tertarik melihat kegiatannya. Aura sabar dan tenang dari pemuda itu mengesankan hati para penjaga sehingga mengubah sikap menjadi lebih lunak dan ramah.
Pada suatu pagi, saat ia tengah khusuk menjalankan ibadah sunnah, terdengar suara gemerincing kunci pintu penjara yang dibuka. Seruan penjaga memaksanya untuk mempercepat bacaan dan mengakhirkan sholatnya.
“Lekas beri hormat pada Huang-hou!”
Cin Lee berdiri dan berpaling, menghadapi satu sosok yang sangat cantik dan anggun dengan hanfu tosca yang indah dan perhiasan berkilauan. Aura aristokrat memancar dari sosok tersebut. Walau tak mengenal wanita itu, pemuda ini mau mengangguk hormat, namun tak sudi berlutut.
“Kau tahu siapa diriku, Anak muda?” Suara wanita itu lembut berwibawa.
Cin Lee hanya menggeleng pelan.
“Pantas kau tidak lekas berlutut dan menempelkan dahimu ke lantai.” Ratu Ma tersenyum maklum.
“Saya hanya meletakkan dahi untuk menyembah Sang Pencipta. Setahu saya, kerajaan ini telah menghapus sistem tradisi penghormatan yang demikian.”
“Hem.” Si wanita tersenyum. “Aku Ratu Ma, permaisuri kaisar. Ucapanmu benar. Tapi tradisi penghormatan masa lalu sukar dikikis dari rakyat. Nurani mereka tak mengizinkan keluarga bangsawan setara dengan rakyat jelata. Kau paham?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
أدب تاريخيSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...