Part 54

3K 334 49
                                    

Matanya memandang lekat pada sudut mata mamahnya.
Tersimpan kesedihan yang begitu mendalam.
Dia tahu disana banyak tersimpan air mata untuk dia dan tentu adiknya.

Dipandang wajah mamahnya dengan kantung mata yang menebal menandakan kalau mamahnya memang butuh banyak istirahat. Dia duduk pada kursi di tepi ranjang, menggengam tangan mamahnya.

Andai kan waktu bisa dia putar andaikan semuanya bisa dia perbaiki, dan andaikan dulu dia sudah mengerti, mungkin dulu dia tidak akan bersikap egois, menarik lengan papahnya untuk meninggalkan adiknya demi seekor landak kecil yang dia lihat.

Pikirannya jauh melayang, guratan kesedihan jelas terlihat di wajah cantiknya, dia masih sangat mengingatnya, kejadian 20 tahun lalu dimana dia pergi bersama adik dan kedua orang tuanya.

Air matanya menetes, bagimana bisa dulu dia merengek manja bahkan dulu dia berteriak pada papahnya tak usah pedulikan adiknya.

Pada waktu itu liburan tiba, dia dan keluarganya memutuskan untuk berlibur di kota Bandung, kota yang tak jauh dari Jakarta tapi mampu memberikan udara segar untuk kedua orang tuanya yang memang sangat sibuk bekerja.

Dia pergi ke tempat wisata yang memang akan ramai jika dikunjungi pada saat musim liburan, saat itu mamahnya pergi untuk membeli makan. Tersisa dia, papahnya dan juga adiknya.

Pada saat adiknya menangis meminta untuk menaiki satu wahana, dan secara bersamaan dia melihat seekor landak kecil yang mampu membuat nya seketika tak memperdulikan adiknya.

Papahnya yang bingung memutuskan untuk menaikan adiknya pada wahana yang dia inginkan, dan mengikuti apa maunya. Saat dia kembali adiknya sudah tidak ada.

Air matanya jatuh membasahi pipi chubynya, menggingat semua hal itu membuat dia semakin merasakan perasaan bersalah yang mendalam. Menatap mata mamahnya yang kini terpejam akibat suntikan penenang, karna kejadian itu mamahnya sangat terpukul, bahkan dulu dia sempat di jauhkan dari mamahnya karna keadaan mamahnya yang tak terkontrol.

Udara rumah sakit yang terasa dingin membuat dia harus memakai jaket yang cukup tebal, menghangatkan kesendirian nya, menemani mamah nya yang kini terbaring lemah. Papahnya pergi untuk membelikan nya makan, hari semakin sore senja di luar sana sudah mulai menampakan warna jingganya.

"Andai kamu ada disini sekarang, mamah pasti gak akan kaya gini" ucapnya lirih mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket nya.

"Kamu kemana? Kaka merindukanmu" suaranya bergetar seakan suaranya hilang begitu saja dibawa angin tanpa ada yang bisa menjawabnya.

"Kamu tau, bahkan saat aku tau kamu hilang saat itu juga aku tak memperdulikan landak itu"

"Maafkan kaka, Vi"

Tanganya memasukan lagi gelang kecil bertuliskan namanya, hanya benda itu lah yang selalu dia lihat saat dia sedang mengingat adiknya.





.



"Udah Ve, mamah kenyang"

"Satu lagi ya mah, setelah ini selesai"
Ucap Ve tersenyum, memberikan suapan terakhir untuk mamahnya.

Mamahnya hanya bisa pasrah menerima perhatian dari Veranda.
Mamahnya sudah lebih baik dari beberpa jam yang lalu, mamahnya sudah bisa dia ajak komunikasi walau terkadang tatapanya masih kosong.

"Gimana? Sudah lebih baik?"

Veranda menoleh mendengar suara papahnya yang kini berdiri disampingnya, mata papahnya menatap mamahnya yang kini tersenyum menjawab ucapan papahnya.

KINAL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang