40

5.1K 647 22
                                    

Junmyeon menatap redup raut sahabatnya ketika ia diusir paksa oleh isterinya yang sudah keras hatinya.

Bagi Jisoo, pergi dari Baekhyun adalah pilihan yang lebih baik daripada tinggal bersama pria sinting yang tak punya belas kasih.

"Kamu tidak perlu bersikap terlalu dingin pada Baekhyun.."

"Apa kamu memintaku untuk jadi orang munafik?"

Junmyeon menghelakan nafas. Sekarang semua terasa begitu salah. "Maaf.. Aku tidak berniat untuk menghancurkan rumah tangga mereka saat aku mengenalkan Baekhyun pada Hyori." Junmyeon melanjutkan. "Aku tahu dalam keadaan ini semua orang berpaling dari Baekhyun, tapi aku harap kita tidak."

"Aku tidak bisa." Jisoo mengulas dahinya. "Aku tidak bisa memaafkannya saat aku melihat luka di pergelangan Ara."

"Ah, Maksudmu?"

"Ara menyakiti dirinya sendiri karena Baekhyun."

x

Bora tengah menginap di kediaman orangtua Chanyeol untuk seminggu ke depan. Chanyeol dipaksa melayani keinginan Bora yang tak pernah habis dalam 24 jam, padahal kerjaannya sudah menumpuk.

Siang itu Chanyeol harus mengantar Bora ke rumah sakit karena ia mengeluh mual semalaman penuh.

"Kak.." Bora memukul lembut lengan Chanyeol di sebelahnya.

Chanyeol menggerang. "Kenapa?"

"Apa kamu mendengarkanku?"

Chanyeol mengangguk dan saat ditanya—pria itu tidak menjawab apa-apa.

"Aku cek kandungan."

Begini ceritanya—Bora mabuk, hati nurani Chanyeol tidak mungkin meninggalkan Bora di sana, lalu Chanyeol membawa Bora pulang ke rumahnya. Apa yang Chanyeol lakukan adalah hal normal; Chanyeol hanya mencoba menyelamatkan Bora.

Keesokannya, Bora menganggap mereka telah berhubungan walaupun Chanyeol menjelaskan tidak—hampir satu juta kali.

Setelah pemeriksaan, Chanyeol keluar ruang pemeriksaan dengan senang. Bora didiagnosa pusing biasa dan tidak ada tanda hamil sama sekali, bahkan saat hasil itu dibacakan Bora masih tidak percaya kalau dirinya tidak hamil.

Kemudian seseorang menarik perhatian Chanyeol seketika.

Ara?

Chanyeol melangkah tanpa sadar, namun tangan Bora menangkapnya.

"Kenapa?" Bora melihat ke arah Chanyeol untuk menemukan Ara di depannya. "Ada apa denganmu dan wanita itu?"

Chanyeol enggan membalas pertanyaan Bora dan pergi menuju Ara. "Ara."

Ara terlihat kalap.

Chanyeol mengerutkan dahinya bingung. "Kamu kemana saja?

"Aku berhenti kerja."

Chanyeol merasa kesal. Jika Ara ingin berhenti kerja dari perusahaannya—seharusnya Ara bersikap professional.

"Ar-" Kalimat Chanyeol diputus oleh seorang menyebalkan.

"Kak! Ayo pergi!" Bora menarik Chanyeol menjauh.

Chanyeol sedikit membentak. "Astaga! Tunggu! Tunggulah sebentar! Aku sedang bicara!"

"Untuk apa?! Kamu bisa melakukannya di kantor!" Bora memekik.

Rasa mual di perut Ara makin terasa setelah bertemu sepasang kekasih yang tak ingin Ara lihat lagi wajahnya. Seraya mereka bertengkar, Ara mencuri kesempatan untuk pergi.

Ara membuka lembar demi lembaran hasil pemeriksaan di rumah sakit. Ara berkonsultasi dengan sang dokter untuk melakukan aborsi yang sudah ia pikirkan matang-matang.

Dokter menuturkan berbagai risiko yang akan terjadi jika Ara melakukan aborsi. Terlebih kandungan Ara sudah lumayan besar—kemungkinan sepsis sangat tinggi.

Saat datang pertama kali ke rumah sakit, Ara berharap akan melakukan aborsi di hari itu juga, tapi dokter menyarankan Ara untuk berpikir dua kali—terlebih alasan yang Ara berikan tak cukup logis.

Kebanyakan orang melakukan aborsi karena mereka memiliki suatu penyakit yang membahayakan, tapi tidak untuk Ara. Ara ingin menggugurkan bayi itu karena Ara membenci Baekhyun.

Ara yakin mengurus anak tanpa ayah adalah pekerjaan paling repot sedunia, terlebih ia pula yang harus mencari nafkah.

Ara tidak ingin mereka hidup susah. Ara tidak bisa membayangkan penderitaan itu terjadi pada anaknya kelak.

Dalam histori rumah sakit tidak ada yang pernah menerima kasus seperti itu. Dengan alasan konyol itu, tentu saja aborsi bukan jadi prioritas mereka, bahkan Ara malah dipindahkan pada poli psikologi.

Jika memang Ara tidak memiliki gangguan jiwa, si dokter mengizinkannya melakukan aborsi legal.

Ara mengusap perutnya dan berbisik,

Selamat tinggal, anakku.

MONSTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang