47

4.6K 619 51
                                    

Cahaya matahari, menyelinap masuk lewat celah tirai putih, kini menghangatkan tubuhnya sejenak.

Pagi itu begitu nyaman untuk merebah saja.

Ara membalikkan tubuh untuk menemukan Chanyeol sedang tertidur pulas di sebelahnya. "Chanyeol?" Ara berbisik tak percaya.

Chanyeol bergumam. "Lima menit lagi, sayang." Chanyeol tidak membuka mata setelah Ara mencoba membangunkannya.

Sejak kapan Chanyeol memanggilnya sayang?

Ara bangun dan mengusap matanya.

Kamar itu tidak familiar di matanya, namun entah kenapa—rasanya nyaman seakan ia sudah tinggal puluhan tahun.

Ara berjalan ke arah jendela dan membuka tirai yang menghalangi pemandangannya.

Mulutnya tidak tertutup. Ia terkesiap saat mendapati pemandangan yang tidak pernah ia sangka ada di depannya.

"Paris?"

Chanyeol yang tidak menemukan Ara di sisinya langsung terbangun panik. Chanyeol terlihat begitu lega saat menemukan Ara berdiri mematung di depan jendela.

"Sayang?" Wanita itu tidak kunjung menoleh setelah Chanyeol panggil berkali-kali. Chanyeol mendekat dan melingkarkan lengannya di tubuh Ara dari belakang.

Nafas mereka berhembus hampir bersamaan dan Ara merasakan hatinya berdegup dan darahnya berdesir begitu memabukkan.

"Aku mencintaimu." Bisik Chanyeol.

Ara menoleh dan memperhatikan wajah Chanyeol yang terlihat begitu tulus.

Mereka terputus saat Ara mendengar suara anak kecil menangis dari luar ruangan.

Suara tangisnya berubah menjadi sebuah jeritan. Chanyeol buru-buru pergi dan kembali membawa seorang anak berumur dua tahun di lengannya.

Anak itu menangis manja. "Ibu!"

Ibu?

Ara memperhatikan perutnya yang kini sudah kembali rata.

"Ayah berjanji akan membawa aku ke taman bermain!"

"Ayah?"

"Iya. Ayah.." Anak kecil itu menunjuk Chanyeol dengan tangan kanannya.

Ara memperhatikan detail wajah anak di pangkuannya.

Anak itu tidak mirip dengan Chanyeol sama sekali, bahkan jika Ara membandingkan—jauh lebih mirip Baekhyun.

Baekhyun? Apa anak ini adalah anak yang sempat aku aborsi dulu?

Si anak tersenyum manis mencari kehangatan di dekapan ibunya. Ara tidak bisa memaafkan dirinya—sempat berpikir untuk membunuh anak tidak bersalah.

"Ibu mencintaiku?" Tanyanya sambil berbisik.

Ara membalas dengan anggukan.

"Lalu kenapa Ibu ingin membunuhku?" Anak itu menoleh ke atas untuk mencari kejujuran di mata ibunya. "Apa aku tidak lantas hidup?" Anaknya mendesak. "Ibu suka melihatku menderita?"

Anaknya menjerit begitu besar menggema seisi hingga dinding menjadi retak.

Seketika langit gelap dan lampu kamar meredup nyala mati.

Ara melihat darah keluar dari pori anaknya dan membanjiri seisi ruangan hingga hilang menyisakan lautan merah.

Ara memperhatikan sekitarnya ngeri dan berteriak. "Anakku!" Ara menggali genangan darah—berharap menemukan anaknya di sana. "Maafkan Ibu!"

Ara merasakan kakinya kembali menapak ketika ia menangis sedu. Banjir telah surut dan menyisakan puing bernoda darah di sekitarnya.

Ara meringkuk dan bergumam dalam tangisannya. "Maaf. Maafkan Ibu.."

Dalam tangisnya sebuah cahaya datang dari arah pintu cukup menyadarkan Ara akan kesedihannya. Cahaya itu mengisi ruangan dan Ara mulai mendengar dengungan yang kurang jelas itu di telinganya.

"Ibu sadarlah!"

Ara membuka mata paksa dan mendapati seorang dokter dan perawat tengah memperhatikannya khawatir.

Ara berkeringat dingin. Ara menarik udara puas dan menghapus air matanya.

"Anakku?"

"Ibu masih mengandungnya."

Sebelum operasi kemarin dilaksanakan, Ara tiba-tiba tak sadarkan diri padahal jarum anestesi belum menyentuh kulitnya.

Operasi harus ditunda karena keadaan Ara mendadak pingsan.

Mendengarkan cerita itu, Ara tidak pernah lebih lega mendapati anaknya masih dalam rahimnya dengan keadaan sehat sentosa.

Ara mengusap matanya dan mendeham. "Apa pria kemarin datang lagi?"

Si perawat terlihat berpikir keras. "Suami ibu? Hm.. Aku rasa tidak."

Ara mendecak khawatir sambil menggigit bibirnya. "Jam berapa sekarang?"

"Sepuluh lebih lima belas menit, bu.."

"Malam?"

Sang perawat tertawa. "Pagi. Ibu pingsan semalaman penuh."

Ara membulatkan matanya dan langsung bangun dari tempat tidur.

"Kemana? Ibu mau kemana?" Perawat itu bertanya saat Ara rusuh kesana kemari.

"Aku harus mengejarnya."

Ara membatalkan operasinya dan langsung mencari Chanyeol. Ara mengabaikan sakit di kakinya ketika bertapak di tengah perjalanannya ke kantor Chanyeol. Ara hanya berharap Chanyeol masih ada di kantor sebelum pergi ke Paris.

Ara masuk ke dalam dan menemukan seorang kolega di sana. "Ara? Akhirnya kamu kembali! Ayo kembali bekerja! Kamu pulang kampung terlalu lama!" Yura menarik tangan Ara lembut.

"Pulang?"

"Iya, Tuan Park bilang kamu pulang kampung. Kamu harus tahu pekerjaanku belakangan ini semenjak kamu pergi! Astaga bany-"

Ara menutup mulut Yura. "Dimana Chanyeol sekarang?"

"Kamu memanggil beliau—Chanyeol?"

"Jawab pertanyaanku."

"Tuan Park di bandara. Kamu tahu beliau akan pergi ke Paris?"

Ara mengangguk cemas. "Jam berapa penerbangannya?"

"Jam 11 menggunakan jet pribadi. Kenapa kamu begitu panik?" Ia bertanya curiga. "Astaga kamu dan Tuan Park?!"

"Kendalikan suaramu!"

Yura meringkus. "Maaf maaf. Kamu dan Tuan Park—kalian dalam hubungan gelap? Astaga aku tidak dapat membayangkannya."

Ara mengambil tas emergency di bawah meja dan pergi meninggalkan koleganya tanpa memberikan penjelasan. Ara belum siap untuk membawa hubungan mereka ke depan publik.

Ara berlari ketika menemukan Chanyeol di dalam kerumunan dan menarik lengannya—memeluknya tanpa memberi jeda.

Ara tidak tahu kenapa ia menangis—mungkin karena rasa bersalah atau mimpinya semalam.

Ara meninggalkan lengannya disana untuk beberapa lama dan mengusap air matanya. "Maaf.."

Chanyeol melirik perut Ara menggembung—menandakan ia telah membatalkan operasi itu. "Kenapa kamu kesini?"

Ara memegangi jarinya gugup. "Aku ingin pergi dan membuka lembaran baru bersamamu."

Mata mereka saling menyambar listrik memberikan rasa merinding ke setubuh Chanyeol.

Ara mengambil wajah Chanyeol di kedua tangannya. "Katakan padaku jika kamu tidak peduli, maka aku akan pergi selamanya."

Chanyeol bergeming melihat mata indah itu digenangi air.

"Aku tidak bisa hidup tanpamu walaupun seberapa besar keinginanku untuk melupakanmu. Aku tidak hanya peduli padamu. Aku mencintaimu, Ara."

MONSTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang