Aku merasakan nadiku melemah terbawa arus laut yang menyapuku ke dalam. Terus menerus membawaku ke dalam sampai aku tak merasakan lagi hangatnya cahaya matahari yang dulu sempat membantuku hidup.
Hanya kegelapan dan sukma dingin yang merasuk di tubuh. Mungkin sebentar lagi tulangku akan hancur jika tidak ada yang menolongku.
Jiwaku memupuk tubuhnya di atas pasir paling bawah laut, mendebu.
Aku memberontak ke atas untuk menyelamatkan diriku sendiri. Aku mencoba dengan baik untuk berenang, tapi kemampuanku seakan tidak ada artinya.
Aku terus terseret ke palung paling dalam, seberapa jauh aku berenang dan seberapa kuat kakiku mendayuh—palung itu tidak ada habisnya.
Aku tak berhenti di sana.
Aku mencoba memfokuskan pikiranku ke atas sana untuk mendapatkan secercah cahaya yang kubutuhkan.
Tapi, sialnya, tubuhku terus melemah. Namun, tidak akan pernah aku lepaskan fokusku pada titik itu. Aku akan mencari bantuan apapun yang terjadi. Aku harus hidup untuk anakku.
Aku mengusap perutku yang di dalamnya mulai memberontak. Rasanya terlalu sakit untuk kulawan, tapi anakku tidak boleh dalam bahaya. Ia harus selamat.
Aku pikir usahaku tidak ada sia-sianya. Aku terangkat ke permukaan dan melihat kerumunan sedang bersantai dan tertawa ringan di atasku.
Aku mencoba berteriak sekeras mungkin, namun gemaan ombak memecah suaraku menjadi gelembung sialan.
Aku ingin meraih salah satu orang dari kerumunan itu, mungkin saat aku meraihnya aku bisa dapat bantuan.
Aku terus menunjukkan kelemahanku, tapi mereka tetap tidak membantuku.
Aku patah semangat. Aku menangis merintih.
Mereka tidak pernah menjabahku. Mereka tidak pernah melihatku. Mereka tidak ingin membantuku.
Seakan mereka menari di atas penderitaanku.
Kulitku terbeset pisau laut yang tak terlihat, rasanya mirip seperti dikuliti. Tulang belakangku berreaksi untuk lurik yang berpisah dengan kerangkanya.
Kemudian darah mengelilingiku dan aku merasakan rasa lega yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
"Aa.." Bisikan lembut mengisi telingaku yang tersumbat air. Suara yang tadi tidak terdengar, sekarang begitu jerih terdengar.
Di dalam kelemahanku, aku mampu mengangkat tubuhku dan memeluk erat anakku. Aku tidak yakin apa yang terjadi, tapi aku bahagia anakku bisa selamat. Aku menangis menenangkan anakku yang terus menggerang tidak nyaman.
"Maafkan Ibu.."
Aku melupakan rasa sakitku seiring terus menimang dan memeluk anakku untuk berhenti menangis.
Tangisan itu berhenti saat aku membuatnya hangat di dalam pelukanku, diikuti senyum terindah yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Tangan kecilnya menggelut di jari telunjukku dengan cengkraman kuat seakan ia tidak ingin melepasku pergi.
Aku bahagia untuk anakku.
Aku tidak yakin seberapa lama kami bertatap wajah, tapi aku mulai merasakan diriku rapuh kembali. Aku mencoba menarik kesadaranku, tapi tubuhku terlalu lemah untuk melakukannya sendiri.
Dekapanku melemah dan pandanganku melebur hitam gelap. Aku bisa mendengar tangisan anakku kembali menghantui dengan usahaku mencari anakku di kubangan besar tanpa punya pengelihatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONSTER
Fanfiction"Aku istrimu! Nona Jeehi sudah meninggal!" Tamparan keras melayang di atas pipinya. "Jaga mulut kotormu, Ara." "Jangan sentuh aku, monster!" Ara memegangi pipi merahnya dengan perasaan menggondok. "Monster?" Baekhyun melirik tajam seraya meraba bagi...