Pagi ini seperti hari hari biasanya, setelah sholat subuh aku bantuin ibu masak untuk sarapan.
Aku jadi pengen, kelak kalau aku berumah tangga bisa jadi istri sebaik dan sesabar ibu. Karena menurutku, keluarga itu akan terasa hangat dan damai jika ada sosok ibu yang baik.
Sambil mencuci sayur di wastafel, aku jadi senyum senyum sendiri melihat ibu yang masih asyik mengaduk sayur di panci dengan peluh yang sudah sedikit membasahi dahinya.
"Heh, kamu itu kenapa, Ri? Senyum senyum sendiri gitu." Ibu menghampiriku dan mengambil alih bayam yang ku cuci.
"Hehe, nggak papa kok, bu."
"Kalo lagi seneng, di bagi dong sama ibu."
Aku hanya tersenyum, berlalu melewatinya untuk menuju ke lemari pendingin mengambil botol berisi air dingin.
"Kamu udah tau belum, Ri? Kalau Salma temen kamu TK itu, Minggu depan lamaran," Ibu melirikku sekilas, "Tolong ambilin ikannya dong, Ri." Intrupsinya.
Aku turuti perintah ibu, membawa ikan yang sudah di bersihkan untuk di serahkan ke ibu.
"Makasih, Ri." Ucap ibu sambil senyum, ketika aku menyerahkan ikannya.
Senyum ini yang kusuka dari seorang wanita yang melahirkanku. Senyum tulus dan seakan akan tak pernah ada beban yang ia topang.
"Iya bu, sama sama." Tanganku kembali ke aktivitasku semula, menuangkan air dingin ke gelas. Kemudian ku teguk perlahan.
"Kok pertanyaan ibu tadi nggak dijawab?"
"Yang mana?" Aku menoleh ibu sekilas.
"Salma tadi, lho."
"Belum sih, Bu. Emang ibu tau dari mana?" Tanyaku.
"Dari ibunya si Salma langsung. Kemaren ibu ketemu di tukang sayur," ibu mengelap pelan pelipisnya, "Katanya dijodohin, Ri."
"Kirain, ibunya Salma yang pengen cepet punya mantu." Aku mengaduk teh yang akan kusajikan ke ayah.
"Kalau urusan pengen cepet punya mantu, ibu juga pengen, Ri. Kamu cepetan nikah dong, Ri"
Aku menoleh kearah ibu, "Apaan sih, Bu. Riri masih banyak yang dipinginin ya." Ujarku kesal.
Pasalnya, ibu nyuruh aku cepet nikah itu bukan sekali dua kali. Beda jauh sama ayah, yang selalu nyemangatin aku buat mewujudkan yang kumau dulu.
Ibu mengelus bahuku lembut, "Iya iya. Gitu aja marah."
"Ada apa ini kok seru banget kayaknya?" Tanya ayah yang tiba tiba datang dengan koran wajib nya setiap pagi.
"Riri ngambek, yah. Gara gara ibu suruh cepet nikah." Adu ibu pada ayah.
Ayah tersenyum memandangku sembari menyesap teh yang selesai kuracik tadi.
Aku memilih menuangkan sayur bayam, yang semula berada di dalam panci dialihkan menjadi ke wadah mangkuk yang cukup besar.
"Kalau kamu beneran udah siap nikah. Ayah punya teman yang anaknya seumuran sama kamu, Ri. Nanti bisa ayah kenalin ke kamu." Ucap ayah.
"Apaan sih, yah. Riri nggak mau ah dijodoh jodohin gini. Gara gara ibu nih." Sahutku kesal.
Aku membalikkan badan dan menunjukan wajah sewot ku pada ibu. Tetapi yang aku lihat ibu malah nggak takut kalo aku marah, dan malah senyum senyum cengingisan dia.
"Iya yah, jodohin aja. Ibu udah pengen gendong cucu nih." Jawab ibu santai.
Ibu ikut gabung dengan aku dan ayah yang sudah siap untuk sarapan.
"Jangan dulu deh, yah. Nanti rumah ini sepi kalau nggak ada Riri." Rayu ibu disertai dengan sendokan nasi dari ibu dipiringku.
"Kalau kamu cari pasangan, Ri. jangan memandang rupanya, tapi pandanglah imannya."
Lah, udah hafal nih.
Setiap ngomongin hal yang menjerumus ke urusan seperti ini. Pasti kalimat itu keluar dari mulut ayah.
"Iya iya. Riri tau kok mana yang baik dan enggak buat Riri, yah. Tenang aja." Aku mulai menyeruput susu buatan ibu, khusus untukku.
"Yakin tau kamu, Ri?" Goda ibu.
Aku memutar bola mataku malas, "Udah deh, Bu. Nggak usah mulai lagi."
"Oiya, Ri, kamu siap siap nya nanti agak cepat ya. Ayah ada urusan sebelum kerja soalnya." Intrupsi ayah padaku.
"Tuh bu, dengerin. Riri disuruh cepet sama ayah. Berarti Riri nggak bantuin cuci piring ya." Ujarku pada ibu dengan nada penuh kemenangan.
"Iya, nggak kamu bantuin juga ibu masih bisa kok." Sombongnya.
Kami bertiga menikmati sarapan pagi ini dengan diam. Kata ayah kalau makan nggak boleh banyak bicara, jadi jangan heran kalau suasana makan dirumah ini cuma dihiasi dentuman sendok yang berpapasan dengan piring.
"Riri selesai. Riri ke atas dulu ya, yah. Siap siap." Ucapku ketika aku menyelesaikan makan pagiku, lalu aku mulai beranjak dari tempat duduk untuk segera siap siap berangkat bekerja.
.
.
.
.
15 Menit Kemudian, aku udah siap untuk bekerja pagi ini. Seperti yang ayah bilang tadi, kalau aku harus cepet cepet prepare-nya.Dengan flanel kotak kotak pemberian ayah pada ulang tahunku bulan lalu, di padukan dengan jilbab mustard polos kesayanganku. Kurasa udah cukup oke penampilanku pagi ini untuk menjemput rejeki hari Senin-ku.
Walaupun, aku juga sama seperti manusia lain kebanyakan. Membenci hari setelah Minggu!!
"Yah, Riri udah selesai nih." Teriakku mencari keberadaan ayah."Iya, Ri. Ayah udah nunggu di teras." Sahut ayah yang juga berteriak tak kalah kencang dariku.
Aku melangkah menuju teras rumah, yang ternyata udah ada ibu juga disana. Ibu sedang sibuk membenarkan letak dasi ayah yang kurang ciamik di pandangan ibu.
Ayah sama ibu termasuk dalam pasangan yang cukup romantis memang. Nggak sungkan mereka memperlihatkan keharmonisan didepanku tanpa rasa malu. Tapi, keharmonisan rumah tangga yang wajar ya, yang dilihatkan ke aku.
"Hmm, di cariin juga. Ternyata ibu lagi mempraktekan adegan sinetron sebelum suami berangkat kerja rupanya." Sindirku.
"Iri aja kamu, Ri. Nih pakai helmnya." Kata ayah sembari menyerahkan helm nya padaku.
"Bu, Riri berangkat kerja dulu ya." Aku pamit dengan ibu, dan nggak lupa cium tangan dan cipika cipiki.
"Ayah juga berangkat ya, bu." Pamit ayah disertai ia mencium kening ibu beberapa saat.
"Iya. Hati hati, yah. Jangan ngebut ngebut. Kamu yang rajin kerjanya ya, Ri." Nasihat ibu yang setiap pagi selalu dilantunkan dengan khidmat.
"Siap, bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam".
Motor melaju, meninggalkan ibu yang masih berdiri di luar pagar melambaikan tangan ke arahku. Di saat seperti ini, rasanya aku menjadi manusia paling mujur di dunia. Karena memiliki orang tua, yang teramat sangat menyayangiku.
-----
Ini baru awal ya. Maklumin dong, kalau masih gaje. Hehe
Plissss, vote dan commentnya ya teman teman yang budiman.
Luvyu,
Linda😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...