Pandanganku terpaku saat pintu apartemen kubuka dan langsung menampakkan Revan yang masih sibuk menata pot mawar tadi agar enak di pandang, ia menaruhnya di dekat tv jadi pasti bunga itu bakalan jadi objek utama kalau aku lagi duduk duduk santai di sofa.
"Van, bunganya nggak usah di simpen aja lah." Aku melangkah menghampirinya, "Ya? Nggak usah di taruh sini."
Ia menolehku sekilas, "Kenapa? Bagus tau, Ri."
Bibirku memprout menatap bunga bunga itu, kemudian langkahku kembali membuntuti Revan yang berjalan ke arah dapur. "Ya ngapain di taruh situ, mendingan bunga dari kamu tadi malem aja yang di taruh situ."
Tangannya sibuk menuangkan air dingin ke gelas, "Sayang tau, Ri. Mawarnya mahal, harganya sepuluh kali lipat ketimbang bunga matahari aku."
"Kok kamu gitu sih? Aku lebih suka matahari kamu daripada mawarnya Galang." Sahutku, "Kamu marah ya, Van?"
"Marah?" Ia mendekatiku dan berakhir menjatuhkan tubuhnya di kursi makan sebelahku, "Emang kalau marah kamu bakal ngapain?"
Aku meringis menatapnya, "Minta maaf, kayak kebiasaan kamu ke aku."
Revan tertawa cukup keras, sampai sampai Ara yang ada di dekapanku berjengit kaget. "Jangan, biarin aku yang selalu minta maaf ke kamu. Kamu nggak pernah salah di mata aku, jadi nggak perlu minta maaf."
"Kamu nggak marah?"
Kepalanya menggeleng, kedua tangannya menarik tubuh Ara dari gendonganku. "Yang ngirim bunga itu kan Galang, kamu juga nggak minta ke dia. Terus kenapa aku harus marah ke kamu? Aku percaya, istri aku kalau masalah setia pasti jadi juaranya."
Bibirku tersenyum, tanganku yang terbebas dari beban tubuh Ara langsung ku gunakan untuk menangkup pipi Papanya. "Kenapa jadi dewasa gini pikirannya? Aku curiga, nih."
"Kamu kalau rumah tangga lagi adem ayem gini pasti cari cari topik berantem mulu, sampai Ara yang denger ikutan capek." Kesalnya, "Kamu mau aku masakin apa?"
"Apa ya? Aku udah bosen makan masakan kamu."
Telunjuknya mencoel pipiku, "Uh, sombong. Padahal daripada masakan kamu, enakan juga masakan aku."
Telapak tanganku mengusap wajahnya kasar, "Oh, gitu? Sekarang mainnya banding bandingin gini? Yaudah, nggak usah masak lagi kalau nggak ikhlas."
"Tuh kan, Mama bontot bontotnya gini nih. Marah marah," sahutnya, ia melangkah menuju sofa dengan siulan menarik perhatian Ara yang ia bopong di tangannya.
Pandanganku teralih ke ponsel di saku ku, ada getaran yang menunjukkan pesan masuk di dalamnya.
Ibu<3:
Ri, kapan main ke rumah?
Kamu udah lupa kalau masih punya orang tua? Ibu kangen banget sama kamu, sayang.Selamat ulang taun anak ibu, gadis kecilku yang sekarang sudah punya gadis kecilnya sendiri. Semakin bertambah umur, semoga semakin bertambah kesabaran dan juga limpahan nikmat di hidup kamu sayang.
Ibu dan Ayah selalu cinta dan sayang kamu, sampai kapanpun itu.Deraian air mataku terjun, bahkan sekarang menimbulkan isakan. Belum sempat aku mengetik kalimat balasan, tapi layar kembali memunculkan chat baru.
Ibu<3:
Tumpeng nasi kuning ibu udah jadi nih, Ri.Ibu<3:
Ayah udah habis dua piring. Kamu yakin nggak mau ikutan sarapan nasi kuning juga, Ri?"Ma, Ara nangis terus. Aku bingung," keluh Revan, ia berdiri di depan pintu dengan wajah pasrahnya. "Kamu nangis ya?" Tanyanya dengan curiga.
Aku menggeleng melangkah menuju sofa untuk menghampiri Ara yang di telentangkan Revan di sana, "Kenapa sayang? Kan udah main sama Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...