"Bangun, Papa." Bisikku di telinga Revan. Jam sudah menunjukkan pukul 05.14, tapi mata Revan masih melekat sempurna.
"Bentar lagi, sayang." Sahutnya memprotes.
"Van, aku flek." Ujarku, yang sukses membuka mata Revan berubah menjadi menatapku penuh.
Ia langsung bangkit, menangkup perut besarku yang tertutupi kaos besar miliknya. "Kamu mau lahiran?"
"Nggak tau, perut aku mulai mules dari tadi." Jawabku, tubuhku ikut duduk di sampingnya.
Kepalaku ku sandarkan ke bahu Revan, Revan langsung menyambut antusias dengan mengusap kepalaku. Tangan kanan Revan mengusap perutku, aku menikmati itu, setidaknya sedikit mengurangi rasa mules yang muncul dari setengah jam yang lalu.
Kalau menurut perhitungan dokter, hari ini kandunganku sudah berusia hampir 39 minggu. Nggak nutup kemungkinan kalau aku sudah mendapat kontraksi, entah itu kontraksi palsu ataupun kontraksi yang benar benar siap lahir.
Tapi aku dan Revan sudah menentukan tanggal kelahiran anakku, yaitu satu hari sebelum HPL. Dokter Amel bilang, kalau tanggal yang ku tentukan bisa berubah kalau saja anakku mau keluar lebih dulu dari tanggal itu.
"Tambah sakit, Ri?" Sekarang tubuhnya sudah berpindah bersimpuh ke lantai, wajahnya menghadap perutku.
Aku mengambil nafas ketika sakit menghujam perutku tiba tiba, "Nggak papa, kok. Kamu sholat dulu aja, biar ini aku bawa jalan jalan."
Revan menatapku ragu, "Kita ke rumah sakit sekarang aja, ya?"
Langsung ku sambut tawa kecemasannya, "Kecepetan, Van. Ini bisa aja kontraksi palsu, kok."
Ia langsung gesit membantuku berdiri, "Aku telfon kantor buat ambil cuti aja, ya?"
"Iya. Kamu sholat dulu deh, Van."
Dia langsung mengangguk patuh, kemudian menarik handuk untuk ikut dengan tubuhnya masuk ke kamar mandi. Aku mengusap perutku, ada ketakutan tersendiri jika hari ini aku harus menyambut hari kelahiran anak ku.
Sudah sekitar dua puluh menit berlalu, tapi rasa tak sedap masih bersarang di perutku. Sakit yang menjalar di perutku semakin terasa, perut juga sudah mulai kencang. Aku jadi bingung, aku telfon dokter Amel atau ibu dulu?
"Gimana? Masih sakit?" Revan datang dari arah mushola, masih dengan sarung melilit pinggangnya. Ia berjalan cepat menghampiriku yang sekarang masih jalan mondar mandir di depan sofa tv.
Aku mengangguk, menempelkan tubuhku pada Revan ketika kontraksi paling kuat ku dapat saat ini. Ku cengkram kaosnya kuat kuat, tepat ketika sakitnya terasa begitu menusuk.
Telapak tangan Revan mengusap punggungku, ia menggiringku untuk duduk di sofa. Lalu ia bangkit menuju dapur untuk mengambil sesuatu.
Bibirku mengusung senyum melihat Revan membawakan segelas teh hangat untukku, "Makasih, Papa."
"Di minum dulu," ia mendorong gelas berisi teh manis hangat ke bibirku. "Kamu udah kabarin dokter Amel?"
Kepalaku menggeleng, "Aku malah pengen kabarin ibu."
"Jangan dulu, nanti malah semua cemas. Nanti kalau beneran pasti kamu lahiran hari ini, baru kita hubungi semuanya."
Tanganku menyerahkan hp milikku ke Revan, maksud hati biar ia saja yang menghubungi dokter Amel. Dia langsung tanggap, benda pipih milikku ia tempelkan ke telinganya, lalu berdiri untuk bicara serius dengan dokter Amel.
"Kamu mau keluar hari ini ya, sayang? Iya? Mama sama Papa udah siap buat nyambut kamu hadir ke dunia." Ujarku, seraya meraba naik turun perutku.
Bibirku berdesis ketika dari dalam di tendang bebarengan dengan sakitnya kontraksi. Mataku menatap cemas ke punggung Revan, ia terlihat masih berbincang serius di balkon sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...