"Ara jangan nangis terus dong, Mama capek nih." Gerutuku pada Ara, dia udah nangis nangis dari tadi nggak mau diem.
Ibu pergi ke pengajian komplek rutin setiap Minggu pagi, Ayah juga lagi ngurus kerjaan yang udah di kejar deadline di kantor. Jadi, di rumah cuma tersisa aku sama Ara aja.
Kalian tanya Revan kemana?
Aku lagi kesel sama dia, Revan udah buat aku kesel sendiri gara gara perasaan kangen ke dia nggak main main. Padahal dia berangkat ke Surabaya baru tadi malem.
Capek tau nangis semaleman, sekarang kepalaku aja masih nyut-nyutan gegara nangisin dia semaleman utuh. Padahal dia kan kerja ke luar kotanya, tapi tetep aja aku nggak terima jauh jauh dari raganya.
Tangan mungil Ara menghantam ke dadaku, membuatku sedikit tersadar dari lamunanku. "Apa sayang?"
Matanya kembali menyipit, bergerumul air di kelopak mata mungilnya. Detik selanjutnya, tangisnya pecah lagi.
Ya tuhan, tiap Ara nangis jerit gini rasanya aku pengen tenggelem di laut aja. Bingung!
Ku usap air mataku yang ikut terjun karena perasaanku yang tak karuan, Ara nangis aja aku udah ikutan nangis, apalagi sekarang denger Ara nangis di tambah rindu ke Papanya Ara. Rasanya nggak karuan, pengen berendem air dingin.
Drtttt...drtttt...drttt
Fokusku teralih ke ponselku di atas meja tamu, layar menampilkan panggilan video dari Revan saat ku lihat. Seketika hatiku bersorak riang, akhirnya ia ngehubungin istrinya juga. Aku kira dia udah lupa punya istri cantik disini, gara gara dari semalem hp nya nggak aktif.
"Hai, anak cantik." Sorak Revan saat panggilan video darinya ku terima, wajahnya berseri bersih menandakan ia selesai mandi pagi.
Bibirku manyun, "Ara aja nih yang di sapa?"
Ia tertawa, "Mama kenapa tuh? Kok kayak abis nangis,"
Dalam hati semakin dongkol, dia yang di tangisin malah kek gitu. Eh, Ara langsung diem dong denger suara Papanya.
"Udah sarapan?" Tanyanya.
Aku mengangguk, tubuhku ku bawa duduk di kursi rotan teras. "Kamu kapan pulang?"
Revan merenges, "Kamu udah 1000x tanya kek gini ke aku deh, Ri. Udah sebesar apa kangennya emang?"
"Van, cepet pulang." Rengekku.
Lagi lagi Revan tertawa, "Iya, lusa aku pulang sayang."
"Nanti malem aja,"
"Mana bisa? Nanti malem baru meeting." Jawabnya, "Ara ngapain tuh senyum senyum?"
Bener aja, Ara senyum senyum ke arah layar. Tadi aja nangis kejer, sekarang senyum senyum tebar pesona. Curiga nih anak udah di pelet sama Revan.
"Ara habis nangis kenceng banget, pusing pala aku." Gerutuku, "Makanya kamu cepet pulang dong, biar Ara juga nggak nangisin kamu terus."
Revan mengangguk, "Temenin Papa sarapan ya, sayang?"
Tangannya menarik sesuatu dari hadapannya, kemudian sepiring makanan di topang. Senyumnya tak luntur dari bibirnya, begitupun dengan anak bayi di pangkuanku ini juga, bibir mungil nan gemasnya juga menebar senyum ke sang Papa.
"Tadi malem tidur kamu nyenyak?" Tanyanya di sela mengunyah makanan.
Kepalaku menggeleng, "Aku kangen kamu, Van."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...