"Aurel keguguran, Ri." Bisik Revan tepat di telinga kiriku. "Bayi itu bukan anak aku. Itu anak Ryan, jodohan Aurel."
Sontak mataku membelalak. Ada sedikit rasa egoisku untuk memiliki Revan kembali. Tapi rasa tak rela pada bayi yang gugur dari perut Aurel itu juga lebih banyak.
Tangan kananku menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Revan mendesis kesakitan, sebelum akhirnya ia menjauhkan tanganku dari permukaan wajahnya.
"Aku udah nggak percaya sama semua omongan kamu," ujarku lirih.
"Aku tau," Revan menatapku lekat. "Tapi aku udah pegang buktinya."
Mama mendekat, merengkuh tubuh anak semata wayangnya. Aku menjauh, menyandarkan tubuhku pada dinginnya tembok rumah sakit. Hatiku bimbang, kebenaran mana yang harus ku percaya?
"Kenapa kamu bisa sampai kaya gini?" Tangan mama mengusap rambut berantakan milik Revan.
Revan tersenyum, jemarinya mengusap wajah sang mama. "Papa Aurel marah, Ma. Katanya, gara gara aku Aurel bisa keguguran."
"Keguguran?" Tanya Mama, "Gimana bisa?" Tanya Mama cemas.
"Mama nggak usah sedih. Bayi itu bukan cucu mama, kok. Aurel hamil anak Ryan, jodohan Aurel, Ma."
Netra mama menyorot Revan tajam, "Jangan ngaco kamu, Van. Mau lari dari tanggung jawab kamu? Iya?"
Revan menarik benda pipih di kantong celananya. Ia mendaratkan tubuhnya pada kursi bekas dudukku tadi, diikuti dengan mama. Tangannya mengintrupsiku agar ikut duduk dengannya dan mama di kursi panjang rumah sakit itu. Bukan hanya aku yang tunduk pada perintah Revan, tapi sekarang papa juga ikut duduk di samping mama.
Hp Revan yang berada di pangkuannya menjadi pusat perhatian kami berempat. Telunjuk Revan mengetuk layar untuk menyetel sebuah video.
•ON VIDEO•
Wajah Revan terlihat tegang di balik gelapnya tempat yang ia pijak. Matanya kesana kemari, seolah sedang mencari sesuatu yang ia tunggu.
Tiba tiba kamera berubah menjadi membidik sepasang manusia berlawan jenis keluar dari lift. Sang perempuan mengenakan dress polkadot selutut dengan rambut terurai, sangat pas dengan wajah cantiknya. Sedangkan sang lelaki memakai kaos hitam polos, yang terlihat pas untuk melekat pada badan atletisnya.
"Aku nggak mau ya," tangan seorang lelaki memegang pergelangan tangan Aurel dengan kuat.
Iya. Perempuan yang memakai dress selutut tadi memang Aurel. Tapi aku belum mengenal siapa lelaki yang bersamanya. Tapi tunggu, bukannya lelaki itu yang juga kutemui bersama Aurel di pasar malam itu. Kayaknya, iya deh.
Revan mengarahkan lebih tajam kameranya pada dua manusia yang terlibat cek cok di samping lift sebuah apartemen.
"Kenapa?" Aurel menepis kasar tangan lawan bicaranya. "Harusnya kamu seneng, Yan. Dosa kamu di tanggung sama orang lain."
Lelaki dengan jambul tinggi menjulang itu menampar pipi Aurel, hingga membuat bibir Aurel mengaduh kesakitan. "Itu bayi aku, aku yang tanggung jawab. Aku ayah dari bayi itu. Kamu jangan coba lari bawa anak aku!" Tegasnya.
Ponsel yang Revan genggam mendadak tak fokus, mungkin ia terkejut dengan perkataan lelaki tadi.
Aurel menggeleng, "Enggak. Aku nggak mau nikah sama kamu." Kepala Aurel menggeleng cepat, "Papa juga nggak mau nikahin aku sama orang nggak punya moral kaya kamu. Makanya, dia putar otak biar seolah Revan yang salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...