Aku mengusap kasar wajahku, air mata sudah turun, entah sebagai respons bahagia atau khawatir dari diriku ketika mengetahui kenyataan yang sedang ku hadapi.
Tangan kananku masih gemetar memegang test pack yang baru saja memunculkan hasil kerjanya. Lidahku mendadak kelu, otak ku juga seakan tak bisa ku ajak berdiskusi tiba tiba.
"Ri, kamu ngapain sih lama banget? Gantian dong!" Revan memukul pintu kamar mandi tak sabaran.
Aku mendengus, mencoba merapikan rambutku yang berantakan, mengusap pelan mataku yang sudah segede gaban karena terlalu lama menangis.
Pintu ku buka, terlihatlah cengiran menyebalkan Revan. Ia hanya memakai celana kain separuh paha, bahkan tubuhnya tak memakai sehelai benang pun. Mungkin ia termasuk golongan beruang kutub, yang mampu tidur dalam keadaan pakaian seperti itu walau AC kunyalakan paling dingin.
Test pack yang semula ku genggam, ku lempar ke dada polos Revan. Dengan sigap Revan menangkap benda itu tepat tanpa meleset.
"Ini garisnya satu atau dua sih, Ri? Mataku masih burem nih baru bangun tidur." Ia menatapku bingung.
Aku yang tak mau menjawab pertanyaan konyolnya, langsung melenggang mengabaikan ia yang terlihat bingung. Walaupun garisnya memang sangat samar, tapi aku rasa Revan tak serabun itu. Sampai melihat garis pada test pack saja tak sanggup.
"Dua ya ini?" Test pack ia terawang dekat lampu yang bertengger di nakas sebelah ranjang.
"Kasian ya anak aku? Belum lahir aja bapaknya udah rabun gitu." Cetusku.
"Ini dua garisnya. Aku bakal jadi ayah dong." Serunya. Ia berhambur mendekap tubuhku yang sekarang terduduk di kursi rias.
Tapi wajahku tak sebahagia Revan, hasil yang di tunjukkan test pack itu malah membuatku seakan di lempar dari ketinggian lantai ke sepuluh sebuah gedung. Rasanya tak karuan lagi.
Kenapa positif? Kok garisnya dua sih? Pasti ini salah kan, ya?
Pertanyaan itu terus bermunculan di kepalaku, sampai sekarang. Bahkan yang ku lempar ke Revan tadi itu test pack ke tiga. Iya, aku tiga kali mengetes karena saking tak percayanya akan hasil yang ku dapat.
Walaupun tiga test pack menunjukkan hasil yang sama. Yaitu GARIS DUA.
"Kok sedih?" Jarinya mengusap wajahku. Pahaku yang terkatup ia regangkan, lalu ia berlutut di antaranya.
Tangannya mengusap perutku, senyumnya masih menghias di bibirnya. "Hai, sayang. Ini Papa," Ia meraba perutku naik turun.
Hatiku tersentak seketika, karena melihat Revan menyapa anaknya dengan lembut, di tambah ujung matanya yang berair pertanda tangis bahagia. Revan terlihat bahagia dengan hasil kerja test pack itu, tapi kenapa aku tidak.
"Makasih ya, udah mau jadi pelengkap hidup Mama sama Papa." Ujarnya, jari jarinya yang meraba perutku di akhiri dengan kecupan lama di perutku.
Aku memalingkan wajahku menatap kaca, sekedar menghindari tatapan Revan yang melihatku sedang menangis mendengar sapaan untuk sang anak yang sedang berkembang dalam tubuhku.
"Kenapa? Kamu nggak seneng, Ri?" Ia menarik tanganku supaya menjauh dari wajahku.
"Kamu nggak bakal ninggalin aku kan, Van?" Senyum Revan perlahan menghilang.
"Kenapa tanya gitu? Kan tadi malem udah aku jawab." Tangannya menarikku agar berdiri. Ia berganti duduk di kursi rias, dengan aku yang ia pangku di pahanya.
"Coba jujur ke aku. Kamu tadi malem habis jalan sama siapa?" Tanyaku, "Sekarang kalau kamu bohong. Bukan cuma aku yang kamu bohongin, tapi anak kita juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Fiksi Remaja"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...