Hello, My destiny!

7K 292 10
                                    

"Di minum, Lang." Aku menaruh nampan berisi dua cangkir teh ke meja rotan teras rumah.

Galang tersenyum, tangannya menarik cangkir teh yang baru saja menyentuh meja. "Makasih, Rin."

Aku mengangguk. Mengamati wajahnya yang sedang menikmati teh buatanku, tapi sorot matanya nampaknya ia sedang bimbang akan sesuatu.

"Rumah udah rame ya?" Tanyanya ketika sudah menanggalkan isi cangkir yang ua genggam.

"Baru saudara saudara ibu dari Solo sih, yang dateng. Kalau saudara ayah dari Bandung, mungkin nanti sore atau malem datengnya." Jawabku.

Memang suasana rumahku sudah lumayan ramai akan sanak saudara yang datang dari tempat lahir ibu- Solo. Mengingat besok pagi adalah hari akadku dan Revan, jadi saudara dari luar kota sudah mulai datang untuk menjadi saksi di hari bahagiaku besok.

"Maaf, Rin. Aku besok nggak bisa dateng."

"Kenapa?"

Ia menyodorkan kotak yang sudah dibubuhi pita diatasnya, "Ada acara di Sumatera,"

Tanganku menerima kotak pemberian Galang, "Padahal aku pengen kamu bisa temenin aku besok, Lang. Tapi mungkin acara di Sumatera lebih penting. Nggak papa kok, santai aja."

Bibirnya tersenyum, "Semoga besok lancar ya, Rin. Itu ada hadiah untuk pernikahan kamu."

"Makasih, ya? Kamu juga hati hati ke Sumatera-nya."

Ia berdiri, merapikan pakaiannya. "Aku langsung pulang aja. Kamu masuk lagi kerumah, titip salam buat ibu, dia keliatan sibuk banget dari tadi."

Aku terkekeh mengikuti arah pandang Galang yang jatuh pada ibu yang tengah mondar mandir di seluruh sudut ruangan rumah dengan buku catatan di dekapannya. Aku dan ayah memang memilih melaksanakan acara pernikahanku di rumah saja, jadi tak heran kalau sekarang rumah sudah di hias sedemikian rupa agar tampil menawan besok pagi.

"Selamat ya, Rin." Telapak tangan Galang mengudara untuk segera ku jabat.

Aku menghembuskan nafas beratku, "Iya, makasih. Titip salam buat Salsa,"

"Iya, nanti aku sampein." Ujarnya. Aku ikut dengan langkahnya sampai ke depan gerbang.

"Hati hati, ya." Ucapku ketika Galang sudah masuk kedalam mobilnya.

Ia mengangkat jempolnya, kemudian menyalakan mobilnya. "Oke. Titip salam buat Revan. Bilang ke dia, jangan pernah buat Arina nangis."

"Harusnya kamu yang bilang sendiri besok," sahutku.

Galang terkekeh, "Aku takut nggak bisa nahan sedih aku ngeliat kamu nikah, Rin."

Senyumku pudar. Apakah pernyataan Galang barusan adalah murni dari isi hatinya?

"Duluan ya? Selamat besok sudah jadi istri." Galang berlalu dengan melambaikan tangannya sebelum sekarang lenyap terpangkas jarak.

Tanganku memilin kotak hadiah Galang kuat kuat, Kemudian berjalan meninggalkan gerbang rumah untuk menuju dalam rumah.

"Ri, ini disini udah pas ya?" Ibu mencekal langkahku. Matanya menginterupsi ku supaya menatap rangkaian bunga mawar putih yang di susun rapi di samping anak tangga.

"Terserah ibu, aku ikut yang menurut ibu bagus aja."

"Jangan gitu, dong. Kan besok itu hari bahagia kamu, jadi kamu juga ikut memilih." Tangannya kembali mengecek catatan khususnya, yang dari lima hari yang lalu catatan itu selalu berada dalam pangkuan ibu. "Eh, Galang udah pulang?"

"Udah. Dia cuma ngasih hadiah, sama ngomong kalau besok nggak bisa dateng. Tadi mau pamit sama ibu, tapi ibu keliatan sibuk banget." Terangku.

Kaki ibu menjauhiku, bahkan ucapanku tak sepenuhnya ia dengarkan dengan baik. Ia sekarang sedang menggiring dua laki laki dari pihak wedding organizer pilihannya untuk ikut dengannya di ruang tamu.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang