540 menit

5.2K 291 8
                                    

Revan menghempaskan tubuhnya di kursi pengemudi, setelah sebelumnya ia menutupkan pintu mobil disebelah kiriku.

Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah, diganti dengan suasana padatnya jalanan ibu kota. Hari ini cukup cerah suasananya, jadi nggak heran juga kalau banyak orang yang bepergian siang ini.

"gimana kemaren pameran lukisannya Aurel, van?", tanyaku sambil mengarahkan wajahku untuk menatap wajah sebelah kiri Revan.

Dia tersenyum merekah menoleh kepadaku, "Aurel dapet juara 2 ri"

"Alhamdullilah, hebat dong", tanggapanku.

"dulu ya ri, kalau Aurel lagi ikut lomba pameran kayak kemaren itu. Pasti aku jadi pendukung pertama dia, dari berangkat sampai pulang aku pasti buntutin dia. Mama sama papa juga selalu dateng kok dulu",

"tapi kok kemaren mama malah ngelarang kamu?", tanyaku heran.

Revan tersenyum ke arah jalanan di sampingnya, "sekarang kan udah beda ri, udah ada kamu", kekehnya sambil mencoel hidungku ketika mengatakan kalimat terakhirnya.

"maafin aku ya van. Udah buat hidup kamu jadi jauh sama Aurel", ujarku.

Dia mengusap lembut bahuku, "kok kamu minta maaf sih ri?"

"ya kan...gara gara ada aku, kamu jadi di larang larang ketemu sama Aurel"

"dulu waktu belum ada kamu juga, main sama Aurel itu emang harus kucing kucingan dulu kok. Jadi kamu tenang aja, nggak ada yang berubah dari dulu sampai ada kamu", ucapnya dengan santai.

Aku menoleh padanya dengan tatapan heran, "kenapa harus kucing kucingan? Bukannya yang nggak setuju kamu pacaran sama Aurel itu cuma oma?" Tanyaku penasaran.

"nggak sepenuhnya tepat ri. Papa juga nggak suka sama Aurel," ia menarik nafas sejenak, "ada masalah yang menjerat papa sama papanya Aurel, yang menjadikan meraka saling bermusuhan sampai sekarang, dan hal itu yang buat papa nggak suka sama Aurel, begitunpun dengan sebaliknya, papanya Aurel juga nggak suka sama aku". Imbuhnya.

"masalah apa emangnya?", tanyaku (lagi).

Revan tersenyum menoleh padaku, dan diikuti tangannya yang menyentuh pipiku dengan hangat. "sayang...kalau nanti ada waktu yang tepat, pasti aku ceritaiin kok".

Aku hanya mengganguk. Tapi degub jantungku terasa lebih cepat dari menit sebelumnya. Aku yakin seyakin yakinnya, kalau itu karena Revan mengucapkan kata 'sayang' dengan usapan lembut dipipiku. Walaupun ini bukan kali pertama ia mengatakan kata itu kepadaku, tapi aku selalu dibuat terpaku oleh hal itu.

***

Oma saat ini sedang melakukan cek darah diruangan berbeda dari ruang rawatnya. Jadi untuk mengisi waktu menunggu sampai oma kembali, aku dan Revan sekarang memilih ke kantin Rumah Sakit untuk makan siang.

"Ri, oma lusa udah boleh pulang kerumah", kata Revan bersemangat.

"tau dari mana?"

"mama tadi malem telfon, kalau keadaan oma bener bener membaik. Jadi dokter ngebolehin oma pulang kerumah lusa"

"Alhamdullilah"

Revan meletakkan sendok yang ia genggam, kedua tangannya ia lipatkan didagu. Ia dengan senyum senyum nggak jelas menatapku yang sedang menyantap makanan dihadapanku.

"kamu ini kenapa sih? Kesurupan?". Ujarku.

"hebat ya kamu ri. Orang yang udah divonis bisa meninggal dalam hitungan bulan aja bisa kamu sembuhin"

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang