"Ra, Arel udah bisa tengkurep dong." Seru Revan saat melihat Arel berhasil berguling di kasur bayi yang ia tata di karpet depan tv, "Ayo kamu pasti juga bisa."
"Jangan di paksa, biarin sebisanya Ara." Tanganku mencegah lengan Revan yang hendak membantu Ara supaya cepat bisa tengkurep kayak Arel.
"Ya kasian dia kepengen guling guling kek Arel," usahanya membantu Ara tetap di lanjutkan.
Aku menghela nafas saat Ara akhirnya marah karena di paksa bapaknya, Ara kalau disuruh lakuin sesuatu yang bukan keinginan dia pasti langsung marah nangis keras banget.
"Manja kamu, Ra." Ucap Revan seolah meremehkan Ara yang kalah unggul dari jagoannya.
Mataku memicing menatapnya, "Heh, anak aku nggak manja tau. Kamu tuh yang manja,"
Ia meringis menolehku, "Becanda, Ma."
Ucapannya hanya kuindahkan dengan kedua bola mataku berputar malas, Ara yang masih cemberut kini berpindah ku tarik ke pangkuanku.
"Ri, minggu depan aku berangkatnya."
Nggak kerasa, tugas ke luar kota Revan tinggal seminggu lagi ia harus berangkat. Bahkan tugas yang harusnya cuma seminggu, kini di perpanjang jadi hampir tiga minggu. Aku nggak tau, bakal segila apa kangenku ke Revan bakal pisah selama itu.
"Jangan nangis dong, Ri. Kan ini juga belum berangkat," ujarnya, tangannya menarikku ke dada bidangnya.
Ku kontrol isakanku supaya mereda, tiap inget tugas ke luar kota itu pasti aku langsung nangis. Oh iya, Ayah kambuh sakitnya minggu lalu. Jadi bisa di pastikan aku nggak bisa bergantung lebih ke ibu untuk ku mintai tolong saat Revan pergi, karena Ayah pasti juga butuh ibu.
Beberapa kali ciuman dari bibir Revan mendarat di pipiku, "Aku suruh Mama disini bantuin kamu aja gimana?"
"Nggak usah," tolakku. Aku tau Mama pasti lagi sibuk, ia sedang mengurus segala perlengkapan untuk buka cabang restoran di Bandung.
"Terus gimana dong? Tinggal bentar lagi aku berangkat,"
Kuusap pipiku yang basah, lalu aku menegapkan badan bersejajar dengan wajah Revan. "Aku bakal urus mereka lebih dari yang aku bisa, aku yakin mereka bakal ikut bantu aku kok."
"Bantu gimana?" Tanya Revan heran.
"Mereka pasti nggak bakal rewel, jam tidurnya teratur, terus bisa sharing mainan, mand--"
Belum juga ucapanku mengenai harapan baikku kelar, tapi dua anak ini udah nangis barengan seakan pilu tangisnya sedang di gigit serangga.
"Susah, Ri. Kamu butuh temen," Revan berusaha menimang-nimang Ara supaya reda tangisnya.
Jujur, aku sendiri juga bingung harus gimana. Mbak Tuti akhir akhir ini sering ijin nggak masuk karena anak bungsunya habis melahirkan, Ibu juga sedang sibuk mengurus pemulihan Ayah yang baru dua hari kemaren keluar rumah sakit, Mama ini lagi sibuk sibuknya ngurus cabang restoran.
"Kamu ikut aku kerja aja yuk!" Ujar Revan tiba tiba, matanya berbinar dengan wajah berseri.
Aku tertawa remeh, "Mana bisa? Kamu kerja, nggak boleh di buntutin istri sama anak."
"Kata siapa? Kita sekalian liburan."
Jemariku menyapu wajah sumringahnya, "Kan kamu disana sibuk, aku kalau ikut cuma di hotel nggak ada siapa siapa. Sama juga aku di sini ngurus mereka sendiri, ya kan?"
Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu merebahkan kepalanya ke sofa. "Bingung aku, Ri."
"Udah, yang penting ayo sekarang ke tempat Azzam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...