"Nggak sarapan dulu aja, Lang?" Tanya ibu ketika Galang bersalaman untuk pamit pulang.
"Nggak usah deh, bu. Kapan kapan aku sempetin numpang sarapan disini lagi, deh. Udah kangen sarapan masakan ibu juga." Galang terkekeh, yang membuat ibu juga ikut tertawa.
Galang memang manggil ibuku dengan panggilan 'ibu' juga. Katanya ibu ini bener bener mirip sama ibu kandungnya yang sudah meninggal ketika melahirkan adiknya- Salsa. Walaupun saat ini ibu tiri Galang juga orang yang baik, tapi tetap saja tidak ada yang bisa menggantikan sosok ibu kandungnya di hati Galang.
Aku hanya mematung bersandar pada pintu utama rumah, sembari mendekap rangkaian bunga mawar pemberian Galang.
"Bener ya? Ibu tagih nanti janji kamu," ibu memandangku sekilas, "Nanti ibu sampein pamitnya ke ayah. Dia masih sibuk ngirim file, tuh."
Galang mengangguk, lalu beralih menatapku dengan senyum terlukis di wajahnya, "Aku pulang dulu ya, Rin."
"Iya, hati hati." Aku menerima uluran tangannya. Terasa dingin, tapi memekik hatiku.
Setelah menghantarkan Galang sampai gerbang depan, aku langsung melangkah ikut duduk dengan ayah dan ibu di meja makan. Tapi sebelumnya aku meletakkan bouquet mawar tadi ke nakas sebelah sofa ruang tamu.
"Kenapa sih, Ri? Kok melamun terus." Ibu menyendokkan nasi goreng di piringku.
"Ha? Nggak papa, kok." Ujarku seraya meraih ayam goreng di hadapan ayah.
"Revan udah mulai kerja ya, Ri?" Tanya ayah, yang membuatku berhenti mengunyah sesaat.
Aku mengangguk, "Iya. Revan tadi titip salam buat ayah sama ibu pas telfon."
Mereka hanya tersenyum. Kemudian kami bertiga menghabiskan makanan di piring masing masing tanpa berkata sedikitpun.
***
"Ri, kamu kenapa? Cerita sama ibu," ibu meletakkan jus alpukat di meja depan tv yang menyala namun hanya ku anggurkan.
"Nggak ada apa apa, bu." Kuraih gelas berisi jus alpukat tadi, lalu kuteguk isinya hingga menyisakan separuh.
"Galang?"
Aku tersenyum, "Riri nggak pernah nyangka kalau Galang itu serius suka sama aku, bu."
"Galang anak yang baik sih, Ri. Tapi kan kamu udah ada Revan sekarang."
"Iya, Riri tau. Cuma sekarang aku ngerasa bersalah aja sama Galang, bu. Dia udah baik banget sama aku, tapi aku malah nggak pernah peka sama dia."
Ibu merangkul pundakku, "Galang memang orang baik. Nggak cuma sama kamu aja pasti baiknya, tapi ke semua orang. Kamu nggak usah merasa bersalah, Ri."
"Galang ngasih ini ke Riri, bu." Tangan kiriku mengudara memperlihatkan cincin pemberian Galang yang ku sematkan di jari tengahku.
"Meksudnya? Kamu nerima Galang, Ri?" Ibu mulai panik melihat tanganku yang malah bertengger cincin dari Galang, bukan cincin dari Revan.
Kepalaku menggeleng, "Kata Galang ini hadiah persahabatan. Walaupun seharusnya ini jadi cincin Galang nglamar aku, sih."
"Kamu copot itu, Ri. Jangan sampai Revan tau." Tangan ibu meraih tangan kiriku.
"Iya iya, nanti Riri copot," aku menghela nafas, "Nanti malem aku diajak jalan Revan, bu."
Ibu mengangguk, matanya sekarang sudah fokus ke acara televisi favoritnya. Sedangkan tangan kanannya sekarang sudah mulai meraih toples berisi kacang di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...