Mobil ayah berhenti dengan rapi di parkiran rumah sakit. Suasana sudah sepi, hanya beberapa orang yang wira wiri membawa beberapa kantung plastik di tangan kanan kirinya.
Secepat mungkin aku berlari menuju ruang UGD tanpa menghiraukan tatapan heran orang orang disekitarku. Pikiranku hanya satu, ingin cepat melihat raga Revan sekarang juga.
Kulihat mama dan papa yang terduduk di kursi tunggu depan ruang UGD. Kuhampiri mereka, mama langsung berdiri menyambutku ke dekapannya. Terdengar jelas di telingaku isakan pedih mama, terasa begitu menyayat hati.
"Revan udah di tangani dokter, Rin. Kamu tenang ya." Papa mengelus pelan lenganku.
Aku duduk di kursi besi panjang, "Kenapa bisa sampai kecelakaan, Pa?"
Mama ikut duduk di sampingku, "Nggak tau, Rin. Mama sama Papa tadi taunya dari orang yang nolongin Revan di tempat kejadian."
Ibu dan ayah ikut bergabung, menunggu dokter yang di dalam ruangan itu keluar dengan harapan membawa kabar baik.
Sekitar 30 menit sudah berlalu, tapi belum ada pergerakan jika pintu di hadapan kami ini akan dibuka. Semua semakin gelisah memikirkan keadaan Revan di dalam sana. Terutama aku, yang berusaha menyingkirkan pikiran pikiran burukku.
Pintu dibuka lebar, menampilkan sosok dokter laki laki yang kira kira berusia 50 tahunan, di dampingi dua perawat yang salah satunya membawa beberapa peralatan medis, yang di dorong dengan meja dorong rumah sakit.
Papa berdiri, diikuti denganku yang membuntut di belakangnya. "Gimana keadaan anak saya, dok?"
Dokter tersenyum menatap aku dan papa secara bergantian, "Hanya luka ringan. Tidak usah khawatir, ya. Saat ini sudah di obati."
Papa menolehku, meraup bahuku dengan tangan kanannya. "Kami boleh masuk, dok?"
Lelaki dengan jas putih, lengkap dengan stetoskop menggantung melingkari lehernya ini mengangguk menjawab pertanyaan Papa. Kemudian ia berlalu, sebelumnya papa mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Van, kamu kenapa sampai kecelakaan gini, sih?" Aku melihat Revan yang berbaring di brankar dengan beberapa perban menyelimuti bagian lukanya.
"Ya nggak papa, biar kamu khawatir aja." Jawabnya santai.
"Kamu tau nggak sih, Van. Mama jantungnya sampai mau copot denger kamu kecelakaan." Ujar mama yang hanya di indahkan Revan dengan cengiran menyebalkan miliknya.
Namanya juga Revan, mana ada serius seriusnya ini orang. Nggak tau aja dia, bukan cuma mama yang hampir copot jantungnya, tapi aku juga.
Revan di pindahkan dari UGD ke kamar rawat dengan bantuan beberapa perawat. Semua menunggu diluar kamar, hanya tersisa aku yang berada di dalam kamar menemani Revan.
"Ri, kamu nggak malu?" Revan menaikan sebelah alisnya.
"Kenapa?"
Ia terkekeh sesaat, "Kamu nggak malu, kesini pakai piyama unicorn gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...