Berkali kali aku harus mengusap genangan air mata di pipiku, lebih dari kata basah kondisi pipiku sekarang karena harus melepaskan suamiku pergi keluar kota untuk seminggu lebih lamanya.
"Jangan nangis terus dong, sayang." Rengek Revan, pelukannya belum ia lepas dari lima menit yang lalu.
Bukannya berhenti, tapi tangisku malah tambah pecah. Aku nggak mau jauh dari Revan, aku nggak bisa!
"Ri, udah dong. Kasian Revan nanti jadi kepikiran terus," bisik Ibu.
Sekarang emang aku pindah sementara di rumah Ibu, nggak mungkin bisa aku urus dua bayi sekaligus sendirian. Lagian Ayah yang telfon minta cucunya ngungsi kesini aja, buat obat sakitnya katanya.
Dengan berat hati aku meregangkan pelukanku, kutatap wajah tampan Revan dengan seksama. Matanya juga memancarkan sedih tak main main, bahkan udah ngeluarin air mata juga.
Bibirku mengulas senyum, "Baik baik di sana ya? Aku sama anak anak selalu nunggu kabar baik kamu."
Revan mengangguk, merekatkan tubuhnya ke dekapanku lagi. "Jaga diri kamu baik baik ya, aku sayang kamu. Maafin aku yang banyak salahnya ya, sayang."
"Aku juga sayang banget sama kamu."
"Ekhem," dehem Ayah, di tangannya udah ada si gemoy Ara yang senyum senyum liatin Papa Mamanya mesra mesraan. "Kita di anggep apa ya, bu? Cuma di suruh gendong anak aja?"
Ibu tertawa, "Iya nih, mana anaknya berat berat lagi."
Ku hampiri Ayah lalu ku cubit perutnya, "Ayah ih, liat orang mesra dikit syirik."
Ayah tertawa, merangkul pundakku sembari melihat Revan memasukkan kopernya ke bagasi mobil. Dari dua anakku yang keliatan sedih si Arel sih, dari tadi siang dia nggak mau lepas gendongan dari bapaknya terus.
"Ra, Papa kerja jauh dulu ya. Kamu jangan nakal," pamit Papa Revan pada anak gadisnya.
Respon Ara cuma senyum tipis dan di tutup dengan semburan hebatnya, nggak ada sedih sedihnya nih anak.
"Kerja yang baik ya, Van. Anak anak sama istri kamu bakal aman disini." Ujar Ayah saat selesai melepaskan tangannya yang di cium Revan.
Revan mengukir senyum lega, "Makasih, Yah."
Sekarang giliran aku yang di beri salam terakhir sebelum Revan masuk mobil, rasanya campur aduk.
"Aku bakalan kangen kamu terus," bisik Revan, tangannya merengkuh erat tubuhku. "Ri, aku selalu sayang kamu."
Tak ada jawaban dariku, hanya sesenggukan yang terdengar sebagai arti pilunya diriku saat ini.
Pelukannya meregang dan beralih Revan menghampiri jagoannya, "Anak ganteng Papa kenapa sedih? Papa kerja dulu ya, biar bisa beliin Arel mobil mobilan yang gede."
Bibir Arel mengerucut pertanda hendak mengluarkan jerit tangis, kedua matanya udah berkaca kaca. Aah, akhirnya pecah juga kan tangis anak gantengku.
Karena tak tega, akhirnya Arel di gendong Revan lagi sembari ia berpamitan dengan ibu. Ibu juga mengucapakan ucapan yang sama seperti Ayah, kalau aku dan anak anak disini bakalan aman mereka jaga.
Waktu udah tambah mepet dengan jam terbang Revan, dengan berat hati Arel di berikan ke aku setelah sebelumnya udah di habisi dulu wajahnya dengan bibir Revan.
Semua melambaikan tangan ke mobil Revan yang di kemudikan oleh sopir kantornya, Revan kali ini di tugaskan ke Bali selama sembilan hari.
Lama banget kan?
"Masuk yuk, nanti masuk angin tuh anak kamu." Bisik Ibu.
Mataku belum mau lepas dari ujung jalan yang mempertontonkan mobil yang membawa Revan, walau saking jauhnya dari sini cuma keliatan sorot lampunya aja sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...