"Ri, kamu udah nggak papa, kan?" Tanya ibu ketika aku duduk di meja makan.
Aku mengerutkan dahi menyerap maksud pertanyaan ibu, "nggak papa gimana maksudnya, bu?".
"Maksud ibu, kamu bener bener nggak papa buat aktifitas seperti biasa? Kejadian kemaren itu, mungkin kalau ibu yang ngalamin, pasti seharian nanti pengennya ngurung di kamar terus."
"Itu kan, kamu. Arina anak hebat, jadi menyikapi masalah kemaren juga dengan cara yang hebat juga." Ujar ayah membelaku.
Aku hanya tersenyum menanggapi omongan ayah. Sedangkan ibu, dia cemberut tuh, gara gara di bandingin sama aku cara menyikapi masalahnya.
Padahal jika di takar tingkat kesabarannya. Ibu selalu yang kupercaya untuk menang menjadi manusia tersabar di dunia.
Hp yang berada di dalam tas ku bergetar panjang. Membuatku sedikit berjengit kaget, dengan cepat ku ambil benda pipih itu agar tau siapa si penelepon.
CALON SUAMI's Calling.
Revan. Ngapain dia telfon jam segini? Bukannya harusnya udah otw kesini buat jemput aku?.
"Halo, Van?"
"Ri, maaf ya. Hari ini aku nggak bisa nganter kamu. Aku lupa tadi mau ngabarin."
"Oh, nggak papa. Emang kamu lagi di mana?"
"Aurel ada jadwal operasi pagi ini, Ri. Aku harus temenin dia. Aurel minta opersinya aku harus nemenin."
Deg! Jantungku sudah tidak berfungsi secara normal sekarang.
"Ri, aku minta maaf. Nanti pulangnya aku jemput."
"Nggak usah. Aku pengen pulang di jemput ayah."
Tuuuttt..
Kuputuskan sambung telfon tanpa berpamitan terlebih dahulu."Kenapa, Ri?" Ibu mengusap pundakku.
"Yah, mulai sekarang Riri pengen diantar jemput sama ayah kayak dulu lagi."
Mataku memanas, jemariku sekarang juga sudah memilin kuat kuat rok plisket yang sedang kukenakan.
Revan sampai kapanpun tetap sama. Mungkin aku yang terlalu bodoh. Mau maunya selalu dibohongi setiap saat.
"Loh, kok gitu? Revan udah mulai kerja?" Ayah mengusap air mata yang ternyata sudah jatuh tanpa kusadari.
"Riri nggak mau ngomongin Revan lagi, yah." Rengekku.
Ayah mendekap tubuhku kuat kuat, menciumi punggung tanganku berkali kali. Ibu di belakangku, mengusap lembut punggungku.
"Riri udah nggak mau ketemu Revan lagi, yah." Aku memukul meja makan dengan kuat.
"Sabar, Ri. Sini peluk ibu."
Aku berhambur memeluk ibu, kutumpahkan tangisku di dekapan ibu.
Rasanya langit hari ini juga mengejekku, atau malah ia berpihak padaku?.
Pagi ini hujan deras ketika aku dan ayah sudah siap untuk berangkat kerja.
"Tuh, Ri. Kamu lihat, air hujannya ndukung kamu buat terus nangis walaupun udah di jalan." Ucap ayah ketika lampu lalu lintas menunjukan warna merah.
Aku ikut tersenyum melihat wajah ayah tersenyum merekah melihatku dari kaca spion motor.
"Yah, ibu dulu pernah nggak sih marah besar ke ayah?".
Ayah melajukan motornya ketika warna lampu lalu lintas berubah jadi hijau.
"Pernah, Ri. Tapi dulu ayah jarang bikin salah ke ibu. Takut ditinggal sama ibu soalnya." Ayah terkekeh mengatakan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...