"Mbak Manda." Lenganku menyengol lengan mbak Manda yang sibuk mengetik pesan di telepon genggamnya.
Ia menoleh, "Apa?".
"Mbak, kalau aku resign dari sini aja gimana ya?" tanyaku bimbang. Aku melusuhkan kepalaku di meja kasir hadapanku.
Mbak Manda tadi pagi sudah ku ceritakan semuanya mengenai hubunganku dengan Revan saat ini. Makanya, aku berani mencari pendapat mbak Manda akan keinginanku untuk pamit dari tempatku bekerja sekarang.
"Jangan gegabah, Rin." Sahut wanita yang sekarang mengabaikan ponselnya demi mengusap bahuku.
"Aku cuma nggak mau tiap hari merasa bersalah gara gara ketemu mama, mbak."
"Iya, mbak tau. Tapi jangan sampai keluar dari sini, itu malah kesannya kamu menghindar."
Aku hanya diam menanggapi ucapan mbak Manda. Pikiranku udah kemana mana demi menghindari kegundahan hati yang dari kemaren seakan menyerangku tanpa boleh istirahat.
"Ri, ayo bangun." Benda tumpul di ketukan di kepalaku dengan sengaja oleh seseorang. Mengharuskan kelopak mataku yang tadinya sudah terpejam untuk terbuka saat ini juga.
Aku mendengus kesal, batinku berkali kali mengumpat karena kecewa menuruti mataku yang ingin menatap si pembuat ulah yang ternyata Revan.
"Ikut aku yuk, Ri." Ia menarik kursi, lalu duduk di sebelahku.
Dengan cepat aku menggeleng, lalu kembali pada posisi nyamanku tadi.
"Eh, ada anak bos berani tidur di depannya kamu, Ri." Ucapnya diiringi dengan ia mengetuk bolpoint di pundakku beberapa kali.
Samar samar aku mendengar tawa mbak Manda yang masih berada di samping kananku, tapi tawanya terdengar sengaja ia tahan agar tidak terdengar oleh siapapun. Mungkin aja ia tertawa karena aku ditegur oleh anak bos yang tingkahnya tengil ini secara terang terangan.
Kutegakkan badanku menatapnya, "Yaudah, minggir sana. Aku mau kerja."
"Ikut aku yuk, Ri." Rengeknya.
"Nggak mau."
Secara tiba tiba Revan mematikan komputer yang sedang ku tatap dengan serius.
"Udah deh, Van. Pergi sana, aku mau kerja." Kudorong pelan lengan Revan agar segera beranjak dari persinggahannya.
"Ayolah, Ri. Sekali ini aja." Ia menggenggam tanganku yang sekarang sudah mulai berkeringat dingin.
"Mau kemana sih?" tanya mama yang datang membawa piring yang di penuhi beberapa lauk pauk.
Mama menyodorkan satu sendok rendang kearahku, dengan ragu kuterima suapan itu ke mulutku.
"Gimana, Rin?" tanya mama antusias. Ia menepuk paha Revan agar berdiri, supaya kursinya bisa gantian ia tempati.
"Enak. Emang ini menu baru juga, ma?"
Wanita yang kupanggil mama ini mengangguk mantap. Kemudian mengambil satu sendok lagi ia suapkan ke jagoan kesayanganya.
Revan hanya mengangkat dua jempolnya ketika di tanya bagaimana cita rasa rendang masakan mama.
"Ma, boleh kan Revan ajak pegawai mama yang satu ini jalan jalan?" tanya Revan pada mama, tapi pandangannya tertuju padaku.
Mama tersenyum, menoleh padaku. Lalu menggidikan kedua bahunya.
Kutatap mama dan Revan secara bergantian, "Mau kemana emangnya?".
"Nggak perlu tau, yang penting kamu ikut aja."
Mama mengelus bahuku, "Ikut aja, Rin. Mama yang tanggung kalau sampai kamu dibuat nangis dia lagi." Dagu mama menunjuk Revan yang ia maksud sebagai 'dia' dalam ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...