Dilema

8.1K 520 11
                                    

Saat aku menutup pintu kamar rawat Oma, aku dapat melihat Revan menatapku dengan tatapan nanar. Seakan ia sudah tau perbincangan apa yang kubicarakan dengan bu Nisa.

Ia mendekatiku dan menuntunku untuk ikut duduk dengannya di kursi tunggu rumah sakit.

"Aku udah bisa nebak kalau kamu bakal shock kaya gini"

Aku menoleh padanya dengan tatapan tak mengerti apa maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan padaku.

"Permintaan mama emang berat, Rin. tapi itu bukan kemauan mama sendiri untuk jodohin kamu sama aku." Ujarnya.

"Terus dari siapa permintaan ini?" tanyaku padanya dengan emosi yang sudah sulit untuk ku kontrol.

"Oma." Jawabnya singkat.

"Oma?"

Revan menghadapkan tubuhnya padaku dan menggengam erat tanganku, "Oma udah lama tau kamu, Rin. Dia suka sama kesederhanaan kamu. Dan sekarang oma sakit parah yang kata dokter nggak tau bisa sembuh atau nggak,"

Aku bergeming mendengarkan penjelasan Revan.

"Sebelum oma koma, dia ajuin permintaan terakhirnya. Yaitu permintaan untuk kita menikah." Tukas Revan.

"Dan kamu setuju?" tanyaku tegas.

"Aku akan lebih bahagia jika oma bahagia, Rin. Dan Oma benar. Setelah ketemu kamu, aku juga tertarik dengan kesederhanaan kamu," ia menarik nafas,

"dan kalau kamu nerima aku. Itu pasti bukan karena harta aku kan, Rin?" imbuhnya.

"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu."

Gilaa! Kata kata itu keluar gitu aja, cuma gara gara tatapan Revan yang menatapku seolah mengajakku hidup bersama sama selamanya.

Ihhh, ingin rasanya aku menampar mulut ku sendiri yang sudah lancang berkata seperti itu.

Revan tersenyum menatapku, "Aku sudah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu."

Aku membelalakan mata, tidak percaya dengan apa yang ia katakan barusan. Jika hanya untuk menyakiti hati ku seperti ini, kenapa dia tadi berperilaku aku ini seakan akan seperti gadis yang ia inginkan.

Aku membuka mulutku untuk membalas ucapannya. "Aku juga.."

"Tapi aku bakal berusaha memutar takdirku supaya kamu yang jadi takdir bahagia ku, Rin." Kalimat itu ia ucapkan dengan satu tarikan nafas saja.

Aku memegang kepalaku, yang rasanya ingin meledak sekarang juga. "Aku nggak tau harus jawab apa" ucapku pasrah.

"Jawab sesuai hati kamu, Rin. Aku bakal nunggu jawaban dari kamu, dan apapun itu jawabannya."

Pintu kamar terbuka secara tiba tiba, menampilkan wajah bu Nisa yang sudah merah padam penuh dengan air mata yang sudah menggenangi seluruh permukaan wajah cantiknya. "Oma semakin kritis," lirihnya.

Aku dan Revan saling berpandangan dengan tatapan bingung harus apa. Dan secara tiba tiba Revan berlutut di hadapan ku. Aku kaget bukan main, ia menangis di hadapan ku dan memintaku untuk mau menjadi istrinya.

Jujur, aku bingung untuk jawab apa. Karena menikah itu sekali seumur hidup. Dan aku nggak mungkin menentukan keputusan ini gitu aja.

Bu Nisa juga ikut berjongkok di depan ku, dan meminta hal yang sama seperti yang di ucapkannya di dalam kamar rawat tadi.

Dan tanpa persetujuan dari otakku, mulut ku berucap secara berani, "Ya, aku bakalan mengabulkan permintaan Oma."

Dengan penuh senyum bahagia bu Nisa bangkit dan langsung memelukku. Aku ikut terhanyut dalam suasana dan menangis di dekapan calon mertuaku ini.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang