"Saya ingin kamu mencabut tuntutan mu, sekarang juga." ujar lelaki berusia hampir kepala lima di hadapanku ini dengan lantang.
Aku tersenyum masam, "Atas dasar apa anda menyuruh saya?"
"Berani kamu sama saya?" Tanyanya penuh nada tinggi.
"Anak tunggal kesayangan anda sudah merenggut nyawa anak saya. Posisi kita sama, sama sama ingin melindungi anak kita masing masing. Jika Aurel berhasil membuat anak saya menderita, begitupun saya juga bisa membalaskan tangis anak saya dengan membuat Aurel menderita di penjara."
Tanganku yang hendak masuk di cekal, "Berapa yang kamu mau? Saya akan turuti,"
Kepalaku menggeleng tak percaya, "Tidak semua masalah bisa di bayar dengan uang anda yang sudah tak terhitung itu, tuan."
Setelah mengucapkan kalimat itu penuh dengan nada sindiran, aku segera masuk kedalam apartemenku. Papa Aurel masih mematung di depan pintu, tentunya masih di sertai tatapan tajamnya untukku.
"Bu, ini di cuci sekalian nggak?" Tanya mbak Tuti menghadang langkahku menuju ruang cuci.
Mataku menyelidik, "Itu baju kotor dari mana, mbak?"
"Dari kamar mandi, bu."
Gigiku menggertak, bahkan kepalaku mengepul mengeluarkan asap. Bisa bisanya Revan lupa naruh baju kotor ke keranjang lagi.
"Di cuci sekalian, ya?" Tanya mbak Tuti memastikan.
"Iya, mbak."
Mbak Tuti sudah lenyap di balik pintu ruang cuci, ia menyelesaikan cucian ku yang tadi belum selesai. Hatiku jadi gusar memikirkan pertemuan singkat ku dengan Papa Aurel tadi.
Berkali kali aku harus menghembuskan nafas beratku, supaya diriku tidak terlalu cemas. Walaupun kenyataannya aku juga masih di landa gusar berkepanjangan.
Aku melangkah ke ruang cuci untuk menemui mbak Tuti. Bibirku tersenyum melihat mbak Tuti dengan cekatan menyelesaikan tugasnya, bahkan ia sampai tak menghiraukan kedatanganku saking fokusnya.
"Mbak," panggilku.
Mbak Tuti menoleh, "Iya, bu? Ibu mau makan apa? Biar saya buatkan."
"Mbak Tuti mau temenin aku pergi nggak?"
Terlihat ia berfikir keras, sebelum akhirnya kepalanya menggeleng. "Kata Bapak, Ibu nggak boleh kemana mana. Kalau Ibu butuh sesuatu, biar saya saja yang belikan."
Ku jatuhkan tubuhku di kursi samping mesin cuci, "Nggak usah ngomong sama Bapak. Berdua aja kita perginya, nggak lama kok. Mau ya, mbak?"
"Maaf, bu. Saya takut kalau Bapak nanti marah." Sahutnya lesu.
Revan memang kalau marah bikin semua orang takut, sih. Nggak heran kalau mbak Tuti yang udah hampir sepuluh tahun ikut keluarga Revan itu juga takut kalau anak majikannya marah. Semua ART juga tau, keluarga Revan keluarga yang baik tapi juga menyeramkan kalau sudah di khianati.
"Ibu marah ya sama saya?" Tanya mbak Tuti hati hati.
Aku tertawa, "Ngapain marah, mbak? Udah, di lanjutin lagi aja jemur bajunya. Aku tinggal, ya?"
Kedua kaki ku melangkah meninggalkan ruang cuci, tujuan berikutnya ialah sofa depan tv. Otakku masih berfikir cara yang tepat untuk mengajak mbak Tuti pergi denganku tanpa di paksa.
Sudah setengah jam terlewat hanya untuk memikirkan cara pergi ke tempat itu tanpa membuat Revan tau, bahkan marah. Senyum segaris muncul di bibirku, ketika ide yang kutunggu tunggu akhirnya berlabuh di otakku juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...