Hal yang aku rasakan pertama kali saat mataku benar benar terbuka ialah perih menyayat sekujur tubuh. Tulang tulang tubuhku seakan remuk dan mengakibatkan aku tak bisa menggeser posisiku sedikitpun. Semua rasa sakit bercampur jadi satu, sulit untukku merasakan bagian mana yang paling menyakitkan.
"Sayang," tanpa aku menoleh, aku sudah tau kalau itu suara bariton suamiku tercinta.
Kepalaku langsung menoleh ke samping, tepat sumber suara itu berasal. "Van, aku takut."
Revan memeluk lenganku, matanya bengkak memancarkan sedih berlebihan. "Takut kenapa? Ada aku disini, sayang."
"Anak anakku?"
Bukan menjawab pertanyaanku, tapi Revan malah menangis terisak hingga tak sanggup mengucap kalimat jawaban.
Aku menatapnya bingung, "Anakku kenapa?"
Kepalanya menggeleng, "Nggak papa. Kamu nggak usah banyak pikiran, istirahat lagi aja."
Tanganku ku ulurkan untuk di bantu bangkit dari posisi berbaring ini. Awalnya Revan menolak karena keadaan tubuhku belum stabil, tapi akhirnya aku bangkit dari tidurku setelah Revan ku beri tatapan tajam.
Selimut rumah sakit yang menutupi tubuhku hingga batas pinggang ku sibak. Mataku turun melihat perut besarku, yang sekarang ada perban melilit mengintari perut bulat itu. Tapi tunggu, aku ingat betul kalau tusukan wanita gila itu tepat di perut sisi kiriku.
Tapi kenapa sekarang pada tengah perutku ada jahitan horizontal melintas di tengahnya?
Sesuai penelusuran ku, yang kutahu ini jahitan operasi caesar. Nggak mungkin aku caesar, anak aku aja belum siap lahir.
"Anak aku dimana?" Tanyaku pada Revan.
Revan menyeka matanya yang banjir tangis lagi, "Di..di--"
"Anak aku dimana? Jawab kamu!" Tanganku menggoyahkan bahunya cukup kuat.
"Ri, kamu istirahat ya? Sini aku bantuin,"
Tangannya ku lepas, "Van, anak aku dimana?"
Tendangan ringan menghantam perutku. Sorakan bahagia memenuhi ruang hatiku, anak anak gemas ini masih berada pada tempatnya.
Mama tau kalian lebih hebat dari Mama.
Tapi jika anakku masih di dalam perutku. Untuk apa jahitan caesar di perutku ini? Atau mungkin aku yang sok tau mengenai jahitan dokter, yang sekarang terlihat jelas di tengah perutku.
Revan mengusap lenganku, cairan bening dari matanya terus mengalir seakan tak mau berhenti. Walaupun bibirnya tersenyum memandangku, tapi matanya tak bisa bohong jika ia sedang di hantam sedih yang hebat.
Tubuh Revan berpindah duduk di ranjang rumah sakit yang ku tumpangi, "Maafin aku, Ri."
"Kamu nggak salah." Jawabku cepat.
Kepalanya menggeleng keras, "Kalau aja aku biarin kamu tadi malem ikut. Kejadiannya nggak akan seperti ini, sayang."
Bibirku hanya tersenyum hambar.
"Kamu manusia paling hebat yang ada di hidupku. Aku cinta sama kamu, bahkan jika ada ungkapan sayang yang lebih besar dari cinta, maka aku akan gunain kata itu." Punggung tanganku ia cium beberapa kali.
Aku menatap ngeri lenganku yang sekarang dililit perban, "Aku nggak tau deh, harus ngomong apa. Saat ini kayak ada yang hilang dari diri aku sendiri."
"Apa yang hilang? Semua masih sama,"
Jari jariku menyapu pipiku yang mulai basah karena tangis, "Anak kita nggak papa kan, Van?"
Kepalanya menggeleng lesu, seakan penuh teka teki. Wajahnya mendekat ke wajahku, bibirnya ia satukan dengan bibirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Fiksi Remaja"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...