Aku dengan perasaan berat mulai menyamankan posisi tali tas punggung yang menyangkut di kedua bahuku. Revan sudah berjalan mendahuluiku ketika pintu lift apartemen ini terbuka, kunci apartemen pun ia mainkan dengan rona bahagia menatapku.
Nggak tau, kenapa ia masih bisa sebahagia itu meninggalkan rumahnya untuk hidup bersamaku disini. Aku saja sudah tak kuat menahan gejolak pening di kepalaku, karena terlalu banyak air mata yang ku keluarkan ketika berpamitan dengan ayah dan ibu untuk pindah ke apartemen tadi.
"Ayo dong, Ri. Kenapa lelet banget sih?" Revan menarik tanganku yang menenteng rantang bekal pemberian ibu dari rumah.
Rantang berpindah ke tangannya, "Aku bawain. Kamu nggak boleh capek capek."
Wajahku masih enggan menatapnya. Sejak perjalanan kesini tadi, tak henti hentinya aku memborbardir Revan dengan emosi yang bergejolak di hatiku. Aku hanya ingin menginap semalam lagi di rumah, tapi Revan tetap ngotot ingin kita berdua segera menapaki apartemen malam ini juga.
Padahal tadi Aldan masih bermain di ruang tamu, ia juga merengek minta ditemani bermain lego ketika aku sudah mulai berjalan untuk berpamit ke ibu. Dalam hati aku ingin kembali duduk di samping Aldan, ikut dengannya menyusun partikel partikel lego untuk berubah menjadi bentuk pesawat. Tapi apa daya, tatapan mata Revan ingin aku segera ikut dengannya.
Sekarang ia selalu menakutiku dengan ucapan 'jika tidak menuruti kata suami, itu adalah neraka bagi istri'. Dasar Revan si nyebelin!
"Selamat datang, tuan puteri." Revan membungkukkan badan, mempersilahkan masuk kedalam apartemen yang akan kita berdua tempati entah sampai kapan.
Aku langsung masuk, tanpa menggubris wajah menjengkelkan Revan. Emosiku masih menggebu untuk sekedar bertatap wajah dengannya.
"Makanannya aku siapin dulu ya, sayang? Kamu nonton tv aja disitu." Ujarnya, ia mulai melangkah menuju dapur dengan rantang biru yang ia tenteng.
Tubuhku ku sandarkan pada sofa empuk di depan tv, tanganku mulai meraba isi tas yang ku geletakkan di sampingku.
Ibu<3:
Masakannya jangan lupa di angetin, Ri.Mataku mulai bergerumul air membaca pesan dari ibu. Belum genap aku meninggalkan ibu satu jam. Kenapa sudah seberat ini rinduku padanya?
Jariku mulai menepis air yang menghangati pipiku, kemudian beralih meraih remote yang berada di meja hadapanku.
Rasanya semua acara yang berlangsung di tv tidak ada yang menarik sama sekali. Pandanganku masih saja pada hp yang ingin ku sambungkan menelfon ibu.
"Makan dulu, yuk!" Tangan Revan menggantung di wajahku, namun segera ku tepis dengan kasar.
Ia duduk di sampingku, wajahnya tersenyum memandangku yang sedang marah. "Kenapa harus marah sih? Kamu yang bilang, kita harus sama sama belajar."
Mataku masih menatap layar televisi, walaupun tak tertarik sama sekali pada acara yang sedang di suguhkan.
"Aku minta maaf," lirihnya.
"Sampai kapan marahnya? Makanannya keburu dingin lagi."
Bibirku masih terkatup, masih tak mau menjawab ocehannya.
"Atau mau makan di luar?" Ia mulai memberiku tawaran.
Sedikit menggiurkan, tapi aku tetep masih marah pada Revan yang dengan paksa memisahkanku pada ayah dan ibuku malam ini.
"Ah, jangan marah dong. Masa malam pertama malah marahan, sih?" Kepalanya bersandar di bahuku, walaupun aku tak menolak tubuhnya yang mendekat padaku, tapi aku masih belum menatapnya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...