Berjuang

6.7K 251 4
                                    

Mataku mulai mengerjap beberapa kali, menyesuaikan untuk menerima cahaya terang menusuk penglihatan ku. Pandanganku yang semula menatap langit langit berwarna putih bersih perlahan berpindah, berganti menatap botol infus yang menggantung di sebelah kiri ku.

"Sayang," panggil seseorang. Orang yang teramat ku damba sampai kapanpun. "Masih ada yang sakit?"

"Aku ngapain tidur di rumah sakit, bu?" Tanyaku heran.

Bibir ibu tersenyum, "Nggak papa, kamu di suruh istirahat lebih banyak aja disini."

Seketika aku mengingat samar panasnya percakapan debatku dengan Revan, yang berujung sakit menjalar di perutku. Tanganku meraba perutku gusar, hatiku berangsur lega ketika tau perutku masih besar. Itu tandanya anak ku tak kenapa-napa.

"Dia nggak papa, Ri. Nggak usah panik," ujar ibu. Jempol tangannya mengusap punggung tanganku.

"Ayah mana, bu?"

"Di depan sama Revan."

Aku menghembuskan nafas beratku, "Bu, aku nggak mau ketemu Revan lagi."

Ibu mengusap wajahku perlahan, "Kenapa?"

"Dia udah nggak bisa hidup sama aku, bu." Sahutku. Hatiku rasanya berdesir ketika ingat perlakuan Revan saat tau anaknya perempuan.

Aku mulai bangkit dari tidurku, di bantu ibu yang selalu ada di sampingku. "Ibu tau rasanya jadi kamu, Ri. Tapi ibu juga tau, bagaimana rasanya jadi Revan. Dia butuh waktu, sayang."

Kepalaku menggeleng, "Tapi ibu nggak tau rasanya jadi anak aku." Mataku menatap nanar perutku, "Dia belum lahir ke dunia. Tapi sudah berusaha di tolak sama bapaknya,"

Seketika mulut ibu terbungkam, bingung harus merespon bagaimana. Hati ibu termasuk hati paling lembut yang pernah ku temui, jadi aku tau sekarang ia juga berusaha untuk menguatkan hatinya sendiri ketika meyakinkan aku tentang kebaikan Revan.

Padahal aku yakin, dalam hatinya ia juga menjerit membenci Revan karena sudah membuat tangis anak perempuannya pecah. Tapi ibu tak mungkin mengatakan itu, karena bagaimanapun Revan sudah menjadi pilihanku. Apapun pilihanku, ibu dan ayah selalu menghormati itu.

"Aku rasa Revan itu udah gila deh, bu." Ujarku dengan nafas menggebu.

Ibu mengusap lenganku, "Jangan ngomong gitu, ah."

"Bisa bisanya dia kecewa sama anaknya sendiri, padahal juga belum ketemu. Emang salah ya, kalau anak aku perempuan?"

Aku menggoyahkan lengan ibu yang menutup wajahnya karena tangis ibu ku akhirnya pecah juga. "Dengerin ibu, Ri. Kamu inget kan ucapan ibu? Kalau tugas seorang istri itu berat, dan nggak ada putusnya. Kamu inget?"

Aku mengangguk. Kalimat itu keluar dari mulut ibu di malam tepat sebelum aku di persunting Revan. "Tapi ini terlalu berat, bu. Aku nggak sanggup,"

Telunjuk panjangnya menyentuh bibirku, "Anak ibu kuat kok, pasti kamu sanggup nglewatin ini semua. Kamu inget inget deh, Ri. Sudah berapa banyak masalah besar yang kamu lalui sama Revan?"

"Nggak keitung, bu. Dia kan kerjaannya buat masalah mulu," sahutku kesal.

Tangan ibu menyeka air matanya, lalu tersenyum menatapku. "Tapi kamu tetep mau kan, sama dia? Itu tandanya, Revan itu memang tempat pulang terbaikmu, Ri. Kamu tau dia tukang bikin masalah, tapi kamu tetep mau juga di ajak nikah sama dia."

Kalau di pikir pikir bener juga ya? Aku tau Revan itu suka bikin onar, tapi aku masih mau dengan nya. Aku juga tau kalau hati Revan sudah tertambat ke satu wanita, tapi aku tetap memaksakan diri untuk mengganti posisi wanita itu.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang