Jagoan Kecil

7.2K 229 14
                                    

Hari ini akhirnya aku berhasil keluar dari rumah sakit, setelah hampir dua minggu lamanya aku berbaring di sana. Selama di sana, rasanya duniaku serba terbatas. Aku tak bisa bebas melihat apapun yang ku ingin, tiap detik tontonan nya cuma sinetron tangisan isteri kegemaran ibu.

Ibu memang setiap hari menungguku, bahkan beberapa kali bermalam di rumah sakit. Memang ku akui, kasih ibu itu sepanjang masa.

"Hati hati, sayang." Revan menjatuhkan tubuhku di sofa depan tv secara pelan.

Aku tersenyum mengembang, akhirnya aku bisa menginjakan kaki di apartemenku ini lagi. Pandanganku mengedar menatap sekeliling, tapi mataku malah terpaku pada tembok dekat pintu dapur. Tepat di tembok itu, tubuh tak berdayaku di habisi oleh Aurel.

Kuseka segera buliran bening yang jatuh dari pelupuk mataku, ku ajak diriku agar lebih banyak tersenyum. Aku tak mau melihat Revan sedih, sudah cukup tangisannya banjir ketika kehilangan jagoan kecilnya saja.

"Nggak mau istirahat di kamar aja?" Tanyanya, kedua kakiku sudah ia raih agar berada di atas pahanya.

Aku hanya menggeleng, kembali menikmati suasana rumah yang udah sukses bikin aku kangen dua minggu ini.

"Selamat tujuh bulan di perut Mama, tuan puteri." Bisik Revan di perutku.

Bibirku tersenyum, ikut mengelus perutku yang sekarang bertambah besar. "Terima kasih, Papa."

Hari ini, tepat anak di perutku berumur tujuh bulan. Itu berarti selama tujuh bulan ini aku sudah memboyong tubuh kecil itu kemana mana, tapi sayangnya dua minggu ini hanya tersisa satu manusia mungil di perutku.

Tuan puteri memang geraknya sekarang lebih gusar, hingga sampai ke ujung ujung. Mungkin karena ia terbebas dari desakan saudaranya, jadi ia menikmati waktu sendirinya dengan berguling kesana kemari menjelajah perut besarku.

Aku terdiam ketika cairan bening dari kelopak mata Revan jatuh mengenai perutku. Yang dapat ku terka, Papa bayi gemes ini pasti menangis mengingat jagoan kecilnya.

Sebenarnya tak usah di elak, akupun juga sedih mengingat anak lelaki ku. Ia belum sempat ku rengkuh, tapi sudah lebih dahulu menghadap sang pencipta. Berkali kali ku yakinkan ke diriku sendiri, jika ini sudah takdir di hidupku seperti ini.

"Kenapa?" Telunjukku menarik dagu Revan supaya menatapku.

Ia tersenyum, menyeka air matanya. Hanya gelengan kepala, tapi sorot matanya penuh duka.

"Nggak usah sedih. Jagoan kecil kan lagi bahagia di surga." Ujarku.

Revan hanya tersenyum pilu, "Kamu mau nggak ketemu jagoan kecil, Ri?"

Dahiku mengkerut, "Maksudnya?"

"Besok kita ke makam dia yuk!" Ajaknya.

"Aku kuat nggak ya, Van? Aku takut nggak bisa sekuat sekarang kalau disana." Gumamku.

Kedua tangan Revan menggiring tubuhku, "Mama kuat kok. Papa yakin, Mama pasti lebih kuat dari siapapun."

Wajahku ku tenggelamkan ke dada bidang suamiku, tangisku yang ku tahan akhirnya keluar kandang. Mengingat kembali takdir anak laki laki kesayanganku, itu sama saja aku membuka luka hatiku yang masih basah.

"Mau ya? Biar jagoan kecil tambah seneng kalau Mamanya main kesana."

Bingung, aku bingung harus memilih mau atau tidak. Dalam hati aku ingin menghampiri tempat istirahat terakhir anakku, tapi dari dalam tubuh seakan ada yang menahan agar tetap tak bertemu tempat itu. Takut semua yang ku susun untuk sekuat sekarang roboh, atau malah hancur nanti jika melihat tanah yang menutupi bayiku.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang