Hancur

6.1K 280 10
                                    

"Enak?" Tanya mama antusias ketika tanganku berhasil memasukan nasi goreng hasil tangan hangat Revan kedalam mulutku.

Iya. Revan mengisi kotak makanku dengan nasi goreng spesial hasil masakannya. Kata mama untuk membuat nasi goreng itu saja, Revan dengan telaten menjejer buku resep agar tak salah rasa. Walaupun yang berhasil kutelan ini bukan rasa yang luar biasa enak. Tapi nasi goreng Revan kali ini tetep ku masukan dalam daftar makanan favoritku.

"Enak," tanganku kananku yang memegang sendok terulur ke bibir mama, "Mama cobain deh."

Mama membuka mulutnya, lalu menerima uluran sesendok nasi goreng denganku dengan mimik wajah bahagia. Kepalanya mengangguk, tak tau pertanda apa dari lidahnya.

"Enak kan?" Tanyaku.

"Iya sih, tapi kurang pas dikit. Nggak apalah, demi kamu ini dia mau masak."

Aku tersenyum, tanganku mulai sibuk kembali menyuap mulutku dengan nasi goreng di pangkuanku.

"Temen temen kamu pasti udah cerita ke kamu, Rin?"

"Cerita apa?"

Kotak makan mama di letakkan di meja. Tubuhnya ia putar menghadapku dengan kaki bersila, "Mama kemaren marah marah." Ujarnya.

Aku segera mengambil air minum di gelas untuk melunturkan nasi goreng yang tersangkut di tenggorokan akibat perkataan mama.

"Iya kan?" Ulangnya.

"Emang kenapa ma? Ada sih, tadi beberapa ngomong ke aku."

Mama menarik kotak makannya agar berpindah ke pahanya, "Gara gara Aurel."

Mataku membulat. Tanganku yang semula hendak menyendok jadi ikut tertahan, "Maksudnya?"

"Kemaren pagi dia datang ke rumah." Mama menghela nafas kasar, "Di temani sama papanya. Dia minta Revan batalin pernikahan sama kamu. Dan bodohnya lagi Revan ma--"

Tanganku mengelus bahu mama yang mulai naik turun. Isakan tangisnya sudah tak bisa ia tahan. Jujur, sebenarnya aku sangat penasaran dengan kalimat mama yang menggantung. Tapi aku tak mungkin memaksa mama untuk melanjutkan kalimatnya, yang dimana mama terlihat tersiksa dengan ucapannya sendiri.

"Mama tenang ya," tanganku masih setia mengelus bahu mama.

Mama menggiringku untuk berada di dekapannya. Bibirnya beberapa kali memohon maaf di sela ia menahan isakan tangisnya.

"Maafin mama, Rin." Lirihnya.

Aku merenggangkan jarak kami, "Kenapa harus minta maaf, ma?"

"Mama nggak bisa nahan Revan," deraian air bening mulai muncul membasahi kedua pipinya. "Mama akan majukan acara nikah kalian."

"Kenapa harus maju?" Tanyaku.

Mama menggeleng, "Papa Aurel itu licik, Rin. Dia akan mempertaruhkan apapun untuk anaknya. Termasuk njebak Revan agar menikahi anaknya."

Kepalaku menggeleng perlahan, "Aku nggak ngerti maksudnya deh, ma."

Mama berdiri mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya. Ia kembali menghampiriku dengan amplop besar coklat berada di dekapannya. Ia kemudian duduk di tempatnya semula, kedua tangannya menyerahkan amplop tadi kepadaku.

"Apa ini?" Tanganku masih enggan membuka. Tangis mama pecah seketika, tangannya hanya berisyarat agar aku membuka amplop itu.

Mataku memanas seketika. Hatiku sudah tak tau seperti apa sekarang wujudnya. Rasanya saat ini dunia sedang tak adil kepadaku.

Mama memelukku, menaruh lima lembar foto di dalam amplop tadi ke meja. "Kamu percaya Revan kan? Revan nggak mungkin nglakuin itu, Rin."

Kepalaku terasa sangat berat. Melihat foto mesra Revan dan Aurel terlelap diatas ranjang yang sama, hanya dengan selimut putih menutupi tubuh Aurel yang sepertinya tak tertutupi sehelai benang setinggi dada. Walaupun mata mereka terpejam, seakan menandakan 'hanya' tidur berdua. Tapi aku bukan gadis sepolos itu, sampai tak tau apa yang baru saja mereka lakukan sebelum terpotret gambar gambar yang sekarang berserakan di meja.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang