Saksi Cinta

5.5K 234 9
                                    

Tanganku menarik lengan Revan agar lebih dekat denganku, "Kamu kok jadi lari beneran sih?" Tanyaku dengan wajah tertekuk.

Langkahnya mundur dua langkah, "Kelepasan. Harusnya tadi aku pakai sandal aja, Ri. Kamu suruh aku pakai sepatu, tapi nggak ngebolehin lari."

"Yaudah, lari sana. Biar aku jalan sendiri," aku melepaskan cengkraman tanganku di lengannya.

Tadi memang Revan sudah memakai sandal di kakinya, tapi aku paksa berganti dengan sepatu pilihanku. Sepatu yang ku belikan minggu lalu, gara gara aku yang kalah taruhan itu.

Hari ini aku pertama kalinya melaksanakan catatan di buku periksa kandunganku, yaitu jalan jalan pagi. Ini hari Minggu, jadi jalan di tepi lapangan besar fasilitas apartemen ini sangat ramai.

Banyak anak kecil yang ikut bahagia menyambut hari Minggunya. Ada juga beberapa ibu hamil yang juga jalan jalan santai di temani suaminya. Tapi yang paling menarik ialah gerombolan tante tante senam yang sedang menggoyangkan tubuhnya dengan legging ketat melekat di kakinya, semua mengikuti gerakan instruktur senam yang asyik melekuk kan tubuhnya di iringi musik dangdut koplo.

Revan merengkuh bahuku, "Ini jalan jalan pagi bertiga kita pertama kali lho, Ma. Masa mau marah marah?"

Aku mendengus, "Kamu lari itu mau ikut gerombolan senam tante tante itu, ya?"

Mata Revan menatap gerombolan senam itu dengan seksama, "Oh, itu ada tante Fara. Dia janda di tinggal suaminya itu, loh. Kasian dia, kesepian."

Tanganku yang semula merangkul di pinggangnya langsung ku alihkan fungsi menjadi mencubit ganas pinggang Revan, "Kalau kesepian terus kenapa? Kamu mau nemenin? Hm?"

Cengiran takut Revan muncul, "Enggak gitu dong, Mama. Kan aku cuma di ceritain sama dia,"

"Di ceritain? Sejak kapan kamu jadi suka denger cerita tante tante kesepian gitu?"

Tangannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia meringis menatapku. "Dua hari lalu aku satu lift sama dia. Terus dia cerita, aku dengerin. Gitu aja, kok."

Langkahku terhenti, mengakibatkan badan Revan ikut terhanyut balik ke belakang. "Lift itu jalannya cepet. Kenapa dia bisa tau tau cerita hal pribadi gitu ke kamu? Kamu sering ngobrol sama dia, ya?"

"Lah, tukang nuduhnya kambuh. Aku juga nggak tau, Ma. Tiba tiba dia cerita aja gitu,"

Aku memanyunkan bibir, "Muka kamu ganjen sih, makanya di deketin tante tante." Ujarku dengan nada teramat kesal.

Revan terkekeh, tangannya semakin melekat di bahuku. "Cemburu ya?"

Telunjukku menarik dagunya agar menatapku, "Kamu jangan ganjen ganjen lah, Van. Udah mau punya anak kamu, tuh."

"Siapa yang ganjen? Ganjen Papa kan cuma sama Mama aja," ia menarik turunkan alisnya.

Kepalaku menggeleng pelan, dengan uluman senyum di bibirku. "Emang jalan pagi nggak boleh di ganti jalan sore, ya?"

"Boleh, kata dokter Amel. Tapi bagus udara pagi, Ri."

Lima hari yang lalu aku kontrol kandungan ke dokter Amel, karena flek ku sudah benar benar hilang. Dan saat di USG, bayi gemes lagi gerak banyak banget, yang seketika membuncah kan senyumku dan Revan.

Anakku pipinya terlihat besar sekali ketika di USG 3 dimensi , jari jari tangannya yang kecil berisi itu juga terlihat sangat menggemaskan. Kalau bisa ku genggam tangan itu sekarang, rasanya ingin ku hujani kecupan di setiap sudut tangan mungil itu.

"Ma, beneran nggak mau pindah dari sini?" Tanyanya, dan ku jawab dengan gelengan kepala.

Revan dua hari ini selalu membawakan ku brosur perumahan elite di pusat keramaian ibu kota, ia menyuruhku memilih salah satu hunian itu untuk segera di tempati sebelum bayi ini lahir.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang