"Ayo banguuuun!!" Kedua tanganku menarik selimut tebal yang menutupi tubuh Revan. Seperti biasa, ia hanya mengenakan celana kain separuh paha, dan bagian tubuh atasnya di biarkan terekspos tak memakai apapun.
"Lima menit lagi," lirihnya. Tangannya menarik gulungan selimut dengan malas.
Aku berdecak, "Ini udah jam berapa? Aku sholat subuh sendiri aja kalau gitu."
Tak ada sahutan, malah yang terdengar di telingaku ialah dengkuran halus Revan.
Bokongku ku hempaskan ke ranjang, tepatnya di samping Revan yang meringkuk memeluk guling. "Van, ayo bangun. Kamu tuh males banget sih!"
"Emhhh, lima menit lagi." Rengeknya.
"Dari tadi lima menit terus. Keburu siang nih,"
Ia mengusap matanya, kemudian melirikku yang sudah lengkap memakai mukena. "Lima menit lagi, Ri. Sini kamu bobo lagi aja dulu."
"Van, apaan sih?" Tubuhku memberontak dari terkaman kuat Revan.
Tangannya merengkuh pinggangku untuk kembali di tarik menuju ranjang, "Mana ya ini, anak Papa? Sini dulu, Ri." Kepalanya mulai turun merambah perutku.
Kepalan tanganku mendarat mulus di kepalanya, "Ini itu udah mau setengah enam. Kamu cepet mandi sana, aku tunggu di mushola."
Aku berdiri, merapikan mukenaku yang sedikit bergeser karena ulah gila Revan. Ia hanya meringis, kemudian duduk bersandar di kepala ranjang menatapku yang mulai keluar dari kamar.
Pandanganku teralih ke ponsel Revan yang tertinggal di meja tv sejak tadi malam, layarnya menyala terus terusan menandakan ada pesan masuk. Dengan ragu tanganku menggulirkan layar kunci untuk dapat melihat notif masuk di ponselnya.
Mama🖤:
Jangan lupa besok oma kemo, sayang.Van, oma udah mulai masuk rumah sakit.
Cek kandungan Arina gimana?
Van, kenapa nggak di bales?
Sibuk ya?
Sayang, oma nunggu kamu datang.
Revan?
Sayang, jangan lupa kado ulang tahun di bawa.
"Ngapain, Ri?" Suara Revan membuatku terkejut, dan refleks menjatuhkan hp miliknya ke karpet lantai.
Revan memungut ponselnya, "Aduh, lupa nggak bales wa mama lagi. Bakal di gantung nih aku." Gumamnya.
"Kebiasaan sih, kalau di wa balesnya lama." Sindirku. Tubuhku sudah ku senderkan ke sofa, sekarang untuk berlama lama berdiri saja rasanya sudah tak kuat aku.
Ia tersenyum, wajahnya kembali menunduk menatap layar hp dengan jemari tangan menari nari di atasnya. "Wa dari kamu pasti fast respon, kok. Kan aku sematkan,"
Aku memutar bola mataku malas, "Kok kamu belum mandi sih, Van? Aku sholat sendiri aja, ya?"
Tubuhnya ikut terhempas ke sebelahku, "Morning kiss mana?" Bibirnya sudah maju maju ke arah wajahku.
Telapak tanganku segera kuulurkan untuk membungkam bibirnya, "Nggak ada. Kamu mandi dulu sana! Jorok banget deh, jadi orang."
Bibirnya memprout, "Pelit banget, bagi morning kiss aja nggak boleh. Dikit aja, Ma."
Aku berdiri dengan sekuat tenaga menarik tubuh tanpa baju Revan, "Ayo cepet mandi dong, Van. Aku udah dari tadi nunggu kamu bangun."
"Mandi berdua, yuk!" Ujarnya, dengan senyum jahil andalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...