Melebur Perlahan

5.6K 224 18
                                    

Wajahku menegang ketika mobil Revan memasuki pekarangan rumah Oma, banyak orang bergerumul di teras rumah. Tapi yang paling buatku cemas, orang orang tadi menunjukkan wajah sedihnya.

Revan memarkir asal mobilnya, ia berlari menuju dalam rumah. Sedangkan aku masih susah payah turun dari mobil, karena membawa perut semakin berat berisi dua anakku.

Lututku seketika lemas, melihat Revan menjerit bersimpuh di hadapan tubuh Oma yang terbujur kaku. Ini pasti mimpi.

Tubuhku yang sudah lemas terhuyung ke samping, untung saja ada ibu ibu yang mendekap tubuhku yang sudah hampir tersungkur. Ibu tadi menuntunku mendekati tubuh Oma, yang sepanjang tubuhnya ditutupi kain putih.

Pilu tangisku sudah tak bisa ku ungkapkan lagi, terasa sesak menusuk hati. Revan masih meronta meminta Oma membuka matanya, walaupun itu pasti mustahil.

"Arina," Mama memeluk tubuhku, wajahnya pucat dan matanya bengkak dengan hidung memerah.

"Ini pasti aku lagi mimpi kan, Ma?" Tanyaku lirih.

Aku terpejam menikmati kenyataan pahit ketika mendapati Mama menggelengkan kepala sebagai jawaban, "Maafin Mama, nggak bisa bawa pulang Oma dalam keadaan sehat."

Tubuhku ku eratkan ke Mama, tangisku juga ku luapkan di bahunya. Kenyataan yang harus ku terima walau sangat berat, Oma meninggal dunia.

"Revan, kasian Oma." Papa menarik tubuh Revan yang tengah memeluk jenazah Oma di iringi tangis memilukan hati.

Revan tetap meronta mendekat ke tubuh Oma, walaupun sekarang bukan hanya Papa yang menahan larinya. Aku sudah lemas bersimpuh di dekapan Mama, otak ku masih belum bisa menerima kenyataan yang di tangkap penglihatan mataku.

"Oma, ayo bangun!" seru Revan. "Oma, Revan mau punya anak kembar. Oma harus nepatin janji Oma ke Arina, temenin Arina pas lahiran. Ayo Oma, bangun!" Tangannya menggoyahkan lengan Oma.

"Rin?" Mama menarik daguku agar menghadap wajah pucatnya.

Aku mengangguk lemas, "Anak aku kembar, Ma."

Mama menciumi pipiku, tangisnya semakin menjadi. Mengingat aku membawa kabar gembira di saat suasana duka seperti ini.

Papa berpindah menjadi duduk di sampingku, "Rin, kamu tenangin Revan."

Tatapan Mama juga memohon padaku, anak semata wayangnya memang masih meraung raung di hadapan Oma. Banyak pasang mata yang ikut menerjunkan air mata, gara gara melihat tangis Revan sungguh menyayat hati.

Dengan langkah terseok aku berjalan mendekati Revan, ku usap perlahan lengannya. "Jangan kek gini, Van. Kasian Oma," bisikku.

Revan menolehku, menenggelamkan wajahnya ke dekapanku. "Tampar aku, Ri. Aku pasti mimpi,"

Ku usap pipinya yang sudah basah, "Kita harus bisa nerima ini, sayang. Manusia akan ada yang pergi dan juga yang datang."

"Aku nggak mau Oma pergi,"

"Kamu pikir semua juga mau? Tapi ini udah jalannya Allah, Van."

Perlahan aku menarik lengannya, tak ada penolakan. Tapi wajahnya masih menoleh ke Oma terus terusan, tangisnya juga masih menggebu seperti tadi.

Pemakaman Oma akan di lakukan besok pagi, di pemakaman terdekat di rumah Oma. Aku sekarang sudah mengganti stelan tidurku yang kupakai kesini tadi dengan gamis hitam syar'i yang di bawakan ibu dari rumah.

Ayah dan ibu juga sudah datang ke rumah duka, mereka juga kaget akan berita duka mendadak ini. Semua keluarga besar juga sudah berkumpul untuk ikut ke pemakaman Oma besok.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang