Aku mendorong pintu depan yang tak terkunci dengan sangat hati hati, kututup kembali lalu kukunci (masih) dengan gerakan yang hati hati. Lampu rumah sudah dipadamkan. Itu tandanya ayah sama ibu udah tidur.
Kupercepat langkahku yang hanya disinari dari bayangan lampu dapur, sedangkan tangan kananku menenteng sepatuku agar tak menimbulkan suata jikalau masih ku pakai.
Treekk...
Tiba tiba semua ruangan jadi terang benderang, aku melihat di sudut ruang keluarga ada ayah yang masih memegang tombol turn on lampu. Ibu di belakang ayah, seakan memberi kode kalau ayah sedang marah.
Nyaliku menciut perlahan, "Assalamualaikum." Salamku untuk sedikit mengalihkan pandangan tajam ayah padaku.
"Waalaikumsalam," sahut ayah ketus.
Kugigit bibir bawahku, "Yah, maafin Riri ya baru pulang jam segini."
"Dari mana kamu?" tanya ayah dengan tatapan mengerikannya. Sedangkan ibu, ia cuma berdiri dibelakang ayah dengan wajah was was.
Kuletakkan sepatuku dilantai, kuhampiri ayah. Aku tersenyum ceria padanya. "Yah, ayah tau nggak kalau Riri tadi ketemu sama Ga-"
"Dari mana kamu, Ri?" Tanyanya dengan nada membentak padaku.
Aku dan ibu berjengit kaget. Mataku memanas, seumur umur baru kali ini ayah membentakku seperti ini.
Ayah mengulurkan jari telunjuknya kearah wajahku, "Kamu tau nggak Revan dari tadi modar mandir nyariin kamu kesini, kamu yang pamitnya mau beli buku tapi jam segini baru pulang."
"Revan?" tanyaku linglung.
"Iya, dia udah lima kali kesini nyariin kamu. Ayah sama ibu juga ikut nyariin kamu, kamu nggak mikir kalau rumah bakal sepanik apa kamu nggak ngabarin?"
Aduh Arina, kenapa kamu bodoh banget sih. Kenapa kamu tadi nggak pinjem hp Galang buat telfon ayah, kalau hp kamu lowbat. Sekarang jadinya kek gini kan. Batinku mulai meronta merutuki kebodohanku.
Tiba tiba air mataku mengalir begitu saja. Nyaliku tidak sekuat baja untuk melihat tatapan marah ayah padaku.
Ayah mengusap air mataku, tapi gerakannya tidak selembut biasanya. "Nggak usah nangis, ini konsekuensinya. Kamu itu perempuan, Ri. Jam segini banyak hal yang nggak diinginkan diluar sana."
"Yah, Riri tau ya mana yang baik dan yang enggak buat Riri. Ayah nggak usah takut," jawabku dengan nada serak khas orang menangis.
"Kamu itu cuma gadis cengeng ayah, Ri" remeh ayah yang membuat isakanku semakin keras, "Kalau kamu pergi sama Revan, ayah baru tenang." Imbuhnya.
Aku mendongak, mengusap buliran cairan bening dipipiku dengan gusar. "Ayah denger ya, tanpa si Revan kebanggaan ayah itu Riri bisa jaga diri Riri sendiri. Dan satu hal yang perlu ayah ingat lagi, anak ayah itu Riri bukan Revan."
Ibu mendekatiku, mengusap lenganku dengan hangat. Dia berbisik ditelingaku, "Ri, api jangan di sulut dengan api. Kamu nggak tau bingungnya ayah tadi nyariin kamu."
Perkataan ibu mampu merutuki keegoisanku, dapat kubayangkan betapa bingungnya ayah dan ibu tadi. Riri si gadis cengengya ini, pergi tanpa kabar hingga pukul 23.00.
Kudekati ayah dengan tubuh yang bergetar akibat isakanku, yang kulihat mata ayah mulai berkaca kaca menatapku. Mungkin perkataanku tadi terlalu menusuk, hingga sekarang ayah terluka olehnya.
Kupeluk ayah dengan erat, "Yah, maafin Riri. Tadi hp Riri mati buat telfon ayah, aku nggak bermaksud kok buat bikin ayah sama ibu cemas. Maafin Riri ya, yah?" pintaku dengan suara parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...