Aku mengikuti derap langkah laki laki di depanku ini, untuk menelusuri lorong rumah sakit. Ditemani dengan seribu petanyaan yang meracuni otak ku.
Buat apa bu Nisa menyuruhku kesini bareng sama anak semata wayangnya ini?
Kalau cuma mau membicarakan masalah rekapan keuangan, kan tadi udah aku laporin ke anaknya. Lagi pula, Revan tadi siang juga udah ngomong kalau restaurant yang bakal handle dia sendiri selama mamanya ngurus omanya disini.
Langkah laki laki itu berhenti secara tiba tiba, yang membuat ku dengan terpaksa juga ikut berhenti melangkah.
"Kita jalan bareng tapi nggak ngomong sama sekali ya?" ia menoleh pada ku dengan cengiran cengengesan miliknya.
Sejak keluar dari restaurant tadi. Gaya wibawa dari anak pemilik restaurant ini seakan lenyap di makan angin. Nggak tau juga sih, mungkin gaya wibawanya tadi itu cuma untuk pencitraan di depan karyawan ibunya saja.
Dan tingkah aslinya baru kuketahui saat aku melewati padatnya jalan Jakarta bersamanya.
Kata 'cengengesan' itu yang patut dia sandang, orang udah gede tapi tingkah masih seperti bocah menurutku.
"Mau ngomong apa emangnya?" tanyaku padanya saat kita sudah berada di dalam lift untuk menuju kamar rawat VIP Omanya.
"Ya apa kek, sepi amat kaya jalan sendiri. Dan dari tadi aku liat kamu itu cuma ngikutin aku aja kaya anak ayam, nggak ngomong apa apa. Di kira debu kali ya gua" gerutunya.
Aku tidak menjawab celotehannya barusan. Aku lebih memilih keluar dari lift dan berjalan mendahului Revan.
Aku berhenti dan membalikan badan ku menatap Revan. "Kok dari tadi nggak ketemu ketemu, sih? Kamar nomer berapa?"
"Makanya kalau nggak tau, nggak usah sok tau. Pakai jalan duluan segala lagi" ucap Revan dengan senyum menyebalkan miliknya, yang rasanya pengen aku gampol saat itu juga.
"Sini ikut aku. Makanya, jangan sombong kalau deket orang ganteng" bisiknya sembari menautkan jarinya pada jemari tangan kanan ku.
Rasanya aku ingin pingsan disini sekarang juga. Tangan hangat yang menggenggam ku itu seakan membuat darahku membeku seketika.
Semobil nggak pingsan aja udah Alhamdullilah. Eh, kok ini malah pakai acara di gandeng segala, sih. Batinku menggerutu.
Dia melepaskan genggamannya saat kita berdua sudah sampai didepan salah satu kamar rumah sakit yang aku percayai itu kamar rawat Omanya.
"Ini dia kamar yang dari tadi kamu cariin. Masuk aja, mama ada didalem kok. Aku mau ke kantin rumah sakit dulu. Kalau nanti udah selesai ngomong sama mama, telepon aku aja. Biar aku anterin pulang,"
belum juga aku menjawab dia udah ngomong lagi. "Mana hp kamu biar aku kasih nomor aku" sambungnya.
Seakan akan aku terhipnotis hanya dengan tatapannya. Aku menyerahkan hp ku begitu saja untuk diisi nomor miliknya.
"Nih, udah. Masuk sana udah ditungguin mama dari tadi." Setelah mengucapkan kalikat itu, dia pergi ninggalin aku gitu aja.
Mataku terbelalak sempurna, ketika aku membaca kalau nomor milik Revan di beri nama CALON SUAMI olehnya. Dasarr mata keranjang!
Aku membuka pintu kamar rawat dengan hati hati. Saat pintu terbuka aku meliha bu Nisa yang tersenyum padaku.
"Assalamualaikum"
"Waallaikumsallam, loh Revan mana?" ucapnya disertai dengan bu Nisa membalas uluran tangan ku untuk salim cium tangan padanya.
"Tadi katanya mau ke kantin dulu bu, dia"
"Ooo gitu. Arina, kenalin ini omanya Revan. Namanya Rita." Bu Nisa menunjuk wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Dapat kulihat wanita yang ku tafsir berusia sekitar 60an tahun berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit ini, masih terlihat cantik walau usianya tak muda lagi.
"Dia sayang sama kamu Arina. Seperti halnya dia menyayangi Revan". Aku sedikit berlonjat kaget ketika bu Nisa mengatakan hal tersebut padaku.
"Saya bu?" jari ku menunjuk pada diriku sendiri untuk memastikan bahwa Arina yang di maksud bu Nisa itu adalah aku.
"Iya kamu, Arina yang berwajah cantik di depan ibu ini." Bu Nisa menangkup wajahku, tapi tatapannya berubah menjadi sendu.
Setelah itu, bu Nisa memelukku erat layaknya seorang ibu yang tidak mau kehilangan anak kesayangannya.
Aku jadi tambah pusing tujuh keliling dibuatnya. Pasalnya saat ini bu Nisa mengajakku duduk berhadapan dengannya, tetapi bu Nisa malah menangis terisak diselingi beliau menciumi punggung tanganku.
"Ibu yakin kamu pasti bingung ya, Rin? kenapa ibu memyuruh kamu untuk kesini. Iya kan?" tanyanya.
Aku menanggapi ucapan bu Nisa hanya dengan anggukan saja. Aku sudah tidak dapat mencerna keadaan saat ini dengan baik hanya karena pertanyaan 'ada apa?' yang sudah terlanjur memenuhi ruangan otakku.
"Ibu punya satu permintaan, Rin, buat kamu. Yang ibu pengen dan ibu sangat berharap kamu bisa untuk mengabulkannya." Ujar Bu Nisa lirih.
"Permintaan apa bu?" tanyaku.
"Permintaan untuk kamu mau menjadi menantu ibu." Bu Nisa mengatakan hal itu tanpa sedikitpun memandangku. Tapi arah pandanganya, ia arahkan ke bu Rita yang terlelap dengan berbagai alat medis menempel pada tubuh beliau.
Dengan wajah kaget aku berdiri lalu keluar dari ruangan tanpa menjawab permintaan bu Nisa yang baru saja ia ucapkan.
Aku terlalu bingung dengan semua kejadian hari ini. Dari mulai bertemu Revan dengan perasaan berbeda, sampai saat ini bu Nisa memintaku menjadi menantunya.
Kalian harus tau jika bu Nisa hanya memiliki anak tunggal. Hal tersebut yang membuat ku sampai keluar ruang rawat tanpa menjawab permintaan bu Nisa.
Jika bu Nisa memintaku menjadi menantunya itu berarti aku akan menikah dengan anak satu satunya, yaitu Revan.
-----
Vote dan commentnya jangan lupa😙
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...