Hampa

5.2K 300 6
                                    

Aku mengurung diri setelah diantar Revan tadi sore. Bahkan tadi di perjalanan pulang, kita berdua sama sekali tidak berbicara sepatah katapun.

Kepalaku rasanya ingin pecah sekarang juga. Perasaan perasaan bersalah seakan berterbangan memenuhi otakku. Wajah cantik oma juga seakan akan membayang bayang di mataku. Kalau oma tau, pasti ia akan sangat kecewa.

Sekarang sudah jam sepuluh malam. Tapi kegiatanku masih sama persis seperti pukul tujuh tadi, berguling guling kesembarang arah di kasur kesayanganku. Itu artinya, aku goler goleran udah tiga jam lamanya.

Aku mengusap wajahku kasar, "Aduh, kenapa jadi gini sih?" Teriakku merutuki tingkah bodohku ke langit langit atap kamarku.

Dengan malas aku berjalan lunglai ke meja rias. Kubuka kotak yang di berikan mbak Cindy tadi pagi. Terlihat wajahku dan Revan ketika tutup kotak itu terbuka sepenuhnya.

Kuelus permukaan foto itu. Ada sedikit perasaan sesak bersinggah di hatiku ketika jemariku berhenti tepat di wajah Revan.

Siapa sangka ternyata ini yang jadi hadiah perpisahanku dengan Revan.

Di relung hatiku sekarang seakan ada ruang yang kosong, dan di isi kekecewaan. Hal itu karena sampai sekarang Revan juga tidak berusaha menghubungiku. Apa jangan jangan dia malah nunggu momment kita putus seperti saat ini?.

Tapi, bukannya ini yang kumau juga? Seperti kataku tadi sore, jika aku ingin mengakhiri semuanya. Nggak tau lagi, sekarang aku ngerasa seperti ayam yang sudah kehilangan induknya.

Tanpa kumau, seperti biasa air mataku mengalir tanpa permisi. Seakan sekarang aku sudah masuk dalam lubang yang selalu serba salah. Dan itu semua karena diriku sendiri.

Kupajang hadiah terakhir Revan di nakas sebelah ranjangku. Disana juga ada bunga pemberian dari Revan yang bertengger dengan menawannya. Nggak lupa juga, kartu ucapan manisnya aku tempel di depan bouquet bunganya.

Kupaksa mataku untuk terpejam melupakan semua tentang Revan. Walau ku akui, itu susahnya luar biasa. Lelaki yang punya tingkah ajaib itu benar benar sudah membuatku tersihir seperti ini.

Tanpa kupinta, air mataku turun lagi, bahkan sekarang lebih deras alirnya. "Maafin aku, Van." Lirihku.

***

"Yah, Ayah. Ayo berangkat, yah. Riri udah telat." Teriakku ke sembarang arah. Lagi lagi, aku kesiangan.

Dengan sepersekian detik aku sudah berhasil menuruni tangga. Dengan nafas terenggal aku mencari keberadaan ayah dan ibu.

"Ri, ayah sama ibu di luar." Teriak seseorang dari arah teras. Tapi aku hafal, itu suara ayah.

Secepat kilat aku berlari ke teras, lengkap di sertai tanganku menyambar sepatu yang berada di rak dekat tangga.

"Loh, kok ayah udah mau berangkat?" Tanyaku bingung. Sebab, ayah sudah menunggangi motornya lengkap dengan atribut keselamatan ia berkendara.

Ayah tersenyum, "Kan kamu di jemput Revan." Jawabnya singkat. Tapi mampu membuat lututku lemas.

Mati aku. Gimana ngomongnya sama ayah ibu kalau aku udah nggak sama Revan lagi, nih????

Batinku mulai berdialog membahas kata apa yang pantas menceritakan semua tanpa menyakiti mereka.

"Ri, ayah tinggal ya." Ujar ayah, yang langsung menyadarkanku dari lamunan.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang