Pintu terbuka menampilkan Revan yang baru aja keluar dari kamar mandi, rambutnya basah sampai mengenai tubuh bagian atasnya yang tak tertutupi apapun.
"Ngapain kamu mandi jam segini?" Tanyaku, sekarang aku udah duduk di tepi ranjang gara gara tidurku terusik oleh Arel yang minta nen.
"Nggak papa," kedua tangannya sibuk ngacak rambutnya menggunakan handuk di depan kaca riasku. "Gerah, pusing mikirin kerjaan."
"Masih banyak yang perlu di kerjain?"
Ia mengangguk, tubuhnya berputar lalu ikut duduk denganku. "Masih banyak, kerjaan deadline besok harus selesai malam ini, gara gara besok aku ambil cuti."
Kuusap wajahnya yang terlihat kelelahan, "Aku temenin yuk!"
"Serius?" Kedua matanya langsung berbinar, "Anak anak gimana?"
"Biarin tidur, nanti kan kalau kebangun pasti nangisnya kedenger sampai depan."
Dua bayi yang tadi sore habis di imunisasi itu masih pules tidurnya, untung aja bulan ini imunisasinya nggak bikin demam kayak bulan lalu. Bulan lalu malam sehabis imunisasi gini aku dan Revan nggak bisa tidur karena dua anak kita demam bebarengan.
"Kamu mau teh apa kopi?" Tanyaku memberi tawaran.
Wajah Revan langsung mendongak dari layar laptop, "Terserah kamu."
Aku mengangguk, lalu berjalan menuju dapur untuk meracik kopi kesukaan Revan. Nggak butuh waktu lama, sekarang aku kembali berjalan ke ruang tv dengan membawa nampan berisi segelas kopi dan beberapa makanan ringan.
Kertas putih yang merupakan berkas kerja Revan berserak memenuhi meja, belum lagi bungkus bekas snack-nya yang berserak sampai ke kolong kolong meja.
Jangan di tanya, sekarang kepalaku mulai migrain liat rumah tambah ancur gini.
"Di minum dulu kopinya," tanganku menepuk bahunya pelan. "Ada yang bisa aku bantuin?"
Ia tersenyum menolehku, tangannya meraih cangkir berisi kopi lalu menyesap isinya perlahan.
"Sebanyak ini kerjaannya?" Tanyaku heran, mataku bergerak melihat banyak berkas yang belum siap.
Revan mengangguk, "Kamu bantuin rapiin kertas ini bisa, Ri?"
Kepalaku mengangguk mantap, kertas kertas tadi ku rapikan berdasarkan perintah Revan, karena setiap warna map berisi pekerjaan yang berbeda.
"Ara bangun, bentar ya aku ambil dia dulu." Aku langsung berdiri dan berlari menghampiri kamar.
Bener aja, Ara udah nangis cukup keras. Kuraih tubuhnya ke gendonganku, lalu aku menepuk nepuk pelan paha Arel yang menggeliat akibat denger tangis Ara.
"Kita temenin Papa lembur ya?" Aku menutup pelan pintu kamar dari luar, lalu kembali menghampiri Revan dengan si gemas Ara di gendonganku.
Revan langsung meninggalkan laptopnya, ia lebih pilih ndusel pipi Ara dulu. Padahal Ara lagi marah minta jatah minum, malah di tambah rasa risih dari Papanya yang nyosor pipi gendutnya mulu.
"Udah, Ara mau minum." Kujauhkan wajah Revan dari wajah Ara.
Ia patuh, kembali menghadap layar laptop. "Lusa box bayinya datang, Ri."
"Berapa?"
"Dua lah, orang anak kita dua." Sahutnya.
Pandanganku terjun ke Ara yang asyik minum, "Kenapa harus pakai box bayi sih? Nanti dua box bisa menuhin kamar lho, Van."
Jemarinya yang tengah mengetik seketika berhenti, "Iya juga sih, tapi biarin lah. Nanti kalau di jadiin satu box, tuh dua bayi bisa saling nimpuk tuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...