Aku turun dari mobil, diikuti dengan langkah Revan yang menguntit di belakangku. Katanya sekarang Revan mau kenalan sama ayah dan ibu, sebelum besuk ia datang kesini bareng sama orang tuanya.
Tanganku mengetuk pintu rumah di dampingi dengan ucapan salamku, yang seketika langsung mendapat respon sahutan suara ibu dari dalam rumah.
Revan memandangku dengan wajah cemas, "Kok aku gemeteran ya, Rin?".
Refleks aku langsung tertawa, aku memegang bahu Revan. "Santai aja, ayah nggak galak kok."
Pintu terbuka, menampilkan sosok ayah dengan segelas kopi di genggamannya. Ayah memandangku dan Revan secara bergantian, terlihat ada raut bingung di wajah ayah mendapatiku pulang membawa laki laki yang belum ia kenal.
"Assalamualaikum, om." Revan mengulurkan tangan pada ayah.
Ayah menerima uluran tangan Revan dengan senyum di wajahnya, "Waallaikumsallam, ayoo masuk dulu."
Kami bertiga masuk ke dalam rumah, lalu di sambut hangat oleh ibu yang ikut berjalan kearah ruang tamu. Aku mendaratkan tubuhku di sofa panjang samping Ayah.
"Maaf om, saya pulangin Arina nggak on time." ucap Revan membuka perbincangan.
"Nggak papa, lagian tadi Arina juga udah ngabarin kok." Jawab ayah santai.
Ibu datang dari dapur membawa minuman dan beberapa camilan untuk di hidangkan di meja. Lalu ia bergabung ikut duduk dengan kami bertiga.
"Ayo di minum. Camilannya juga di cobain dong." Ucap ibu, tangannya mendorong pelan beberapa toples berisi camilan kearah Revan.
"Iya tante." Revan mengambil teh dan menyeruputnya. Dia melirikku saat ini, tapi aku pura pura nggak lihat aja.
"Masih kuliah atau udah kerja?" Tanya ayah pada Revan.
Revan meletakkan teh yang baru saja ia minum. "Baru lulus kuliah, om. Dan rencananya langsung kerja disini aja."
"Bagus dong, baru lulus tapi sudah punya tekat langsung kerja."
Revan tersenyum bangga melirikku lagi. Dasar si tukang tebar pesona, langsung besar kepala nih dia di puji ayah.
"Iya, om. Kan harus kerja keras buat nafkahin anak istri nantinya."
Mulutku menganga, sedangkan ayah dan ibu malah tertawa menanggapi ucapan Revan yang mereka anggap sebagai lelucon.
"Iya bener tuh, Saya setuju. Arina ini banyak maunya." Ujar ayah sembari ia terkekeh.
Semua tertawa, kecuali aku yang lebih memilih diam memainkan ponselku.
"Ck, apaan sih yah. Nggak lucu deh"
"Nggak usah malu, Ri, ayah ngomong seperti ini biar dia ada persiapan mental dari sekarang." Ucap ayah, tanganya merengkuh pundakku agar aku bersandar padanya.
Selanjutnya, Ayah dan Revan hanyut dalam obrolan mereka. Seakan akan mereka ini kawan lama yang lama tak berjumpa, dan sekalinya berjumpa mereka menceritakan semua.
Belum genap 2 jam aja, udah kelihatan kalau ayah dan Revan udah akrab. Bagus juga tuh Revan, pinter ngambil hatinya ayah.
Karena udah malam juga, akhirnya Revan berpamitan pulang ke ayah dan ibu.
Aku mengantar Revan sampai di depan pagar rumah. "Sampai ketemu besuk ya, Rin." Pamit Revan padaku sebelum ia masuk kedalam mobil miliknya.
"Iya, hati hati." Jawabku, diikuti dengan lambaian tangan ku pada Revan ketika ia mulai melajukan mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...