"Janji sama dokter Amel jam 7 kan, Ri?" Tanya Revan, di sela aktifitas sarapan kita berdua.
"Iya. Tapi nanti di hubungi kalau ada perubahan jam-nya,"
Revan mengangguk, kemudian melanjutkan menghabiskan makanan di piringnya. Aku hanya meminum susu buatan Revan pagi ini, gara gara tadi pagi morning sickness yang udah lama nggak ada tiba tiba subuh tadi kambuh.
Sebenernya hari ini cukup berat untuk ku lalui, tapi memang tetap harus ku lalui. Hari ini jadwal cek kandungan rutinku dengan dokter Amel, dan juga jadwal mengetahui jenis kelamin si bayi.
Ada ketakutan di hatiku, kalau nanti bayi ini perempuan. Aku sendiri tak mempermasalahkan jenis kelamin apa anakku ini, tapi Revan sepertinya beda. Ia terlihat mendamba akan bayi laki laki, yang bisa ia sebut sebagai jagoan kecilnya.
Bahkan satu jam yang lalu ada paket berisi set permainan bola mini, lengkap dengan gawang kecilnya. Dia juga bilang ke aku, kalau nanti siang ada paket berisi mainan mobil remote control juga untuk jagoan kecilnya.
Kalau bayi ini perempuan, untuk apa semua permainan permainan itu? Sudah terlalu gila obsesi Revan akan kepercayaan nya sendiri kalau bayi gemes itu laki laki, sampai ia tak sadar kalau bisa saja bayi ini perempuan.
"Van," panggilku, yang langsung di hadiahi tatapan Revan.
"Kenapa?"
Aku menggigit sedikit bibir bawahku, "Kalau anak kita perempuan gimana?"
"Nggak papa," jawabnya singkat. Berbeda jika aku menanyakan tentang bayi laki laki, pasti jawabannya bisa sangat panjang dari jawabannya sekarang.
"Aku takut kamu kecewa kalau bisa aja anak kita perempuan. Kita nggak usah cek kelamin aja, ya?"
Revan meletakkan sendok dan garpu nya ke piring kosong hadapannya, "Nggak papa, kalau perempuan. Kamu kenapa takut banget sih?"
"Kamu udah ambisius gitu, kalau bayi gemes ini laki laki. Kan bisa aja dia perempuan, Van."
Ia terkekeh, mengangkat piring kotornya untuk di taruh di kitchen sink. "Kalau dia perempuan, emang kenapa? Gara gara aku udah beli mainan anak cowok? Terus kamu mikir aku nggak bakal sayang kalau anak aku cewek gitu?"
Aku mengangguk, ikut dengannya yang berjalan ke ruang tv. Tanganku menyeret buku panduan ibu hamil untuk ikut denganku duduk di sofa.
"Tapi aku percaya kalau dia laki laki, Ri." Tuturnya, tangannya sibuk mengenakan sepatu.
"Tuh, kan. Kamu pasti gitu, terlalu percaya diri." Aku merebahkan badanku ke sandaran sofa.
"Kalau kamu lebih percaya dia itu, cewek apa cowok?"
Tubuhku ku tegakkan, "Cewek."
Dahi Revan mengkerut, "Kok bisa?"
"Aku jadi lebih rajin masak sekarang, dan jarang keasinan lagi. Terus aku jadi suka dandan, padahal cuma ke supermarket depan. Anak cowok nggak mungkin kek gitu, kan?"
Tak ku pungkiri, sekarang setiap membuka aplikasi belanja online, pasti ada aja yang ku beli untuk melengkapi perlengkapan makeup ku. Sekarang meja rias penuh dengan segala printilan makeup ku, mulai dari brush yang komplit, pallete eyeshadow yang nggak cuma tujuh, bahkan pensil alis aku punya sepuluh lebih.
Belum lagi lipstick, ada puluhan lipstick yang sekarang berjejer rapi, berdampingan dengan foundation. Dulu perlengkapan makeup ku cukup miris, bedak saja dulu cuma punya satu, itu pun hampir habis. Sekarang? Banyak banget. Bisa di pakai sampai aku di suruh ambil rapot bayi gemes mungkin kali, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...