"Van, aku jahat nggak sih?" tanyaku pada Revan, tanganku ku arahkan untuk menggoyahkan lengan lelaki yang hari ini resmi berstatus sebagai tunanganku.
Revan menoleh, menghentikan langkahnya sesaat. "Mana ada tuan puteri jahat?".
"Aku boleh ketemu sama Aurel nggak, Van? Cuma buat minta maaf kok." Tanyaku lagi. Yang kali ini di hadiahi tatapan heran dari Revan.
"Kok kamu cerewet banget sih, Ri?" Tangannya menangkup pipiku, "Kamu nggak jahat, kamu juga nggak salah ke siapapun. Nggak usah takut, sayang."
Kuturunkan tangan Revan perlahan, "Kamu sendiri yang bilang, aku udah patahin hatinya Aurel."
"Kamu inget kan, Ri? Kalau lagi berdua kaya gini, aku nggak mau ngomongin Aurel."
Aku mengangguk, lalu berlalu memasuki kamar oma terlebih dahulu.
"Dari tadi oma nungguin kamu." Tangan keriput oma menyambut tubuhku untuk didekapnya dengan hangat.
"Tadi macet oma, jadi lama deh sampainya." Aku menaruh titipan ibu ke nakas sebelah brankar oma.
"Apa itu?"
"Titipan ibu buat oma."
Oma tersenyum, "Bilangin makasih ya,"
Revan mendekat, memeluk dan mencium pipi Oma beberapa kali. "Oma udah makan?"
"Sudah," Oma menarik jemariku, "Kenapa? Kok kaya ada yang di pikirin?"
"Nggak ada kok, Oma. Kayaknya kecapekan aja." Ujarku, yang sudah pasti menutupi kejujuran hatiku yang masih memikirkan tentang Aurel tadi.
Sekitar satu setengah jam aku dan Revan berada di kamar Oma. Mendengarkan beberapa rangkaian pengobatan yang harus di lakoni Oma setiap harinya, walaupun Oma lebih berantusias ketika ia menceritakan rangkaian imajinasinya saat bermain dengan anak anakku dan Revan kelak.
Tapi katanya, imajinasi itu yang membuat ia kuat melakoni segala yang berurusan dengan kesembuhannya.
"Makan dulu ya, Ri?" Revan menolehku sebelum ia menghidupkan mobilnya.
Aku menggeleng.
"Kamu marah?" Ia menarik daguku yang enggan menatapnya.
"Aku mau pulang, capek." Ketusku.
"Makan dulu, baru pulang." Lelaki di sampingku ini mulai memainkan stir mobilnya untuk meyusuri jalanan.
Aku hanya diam, enggan menjawab ucapannya.
"Kado itu, nanti kamu buka sendiri aja di rumah."
"Hm,"
"Kenapa marahnya harus ke aku sih, Ri? Kamu kan tau, kamu marah itu bikin aku puyeng." Gerutunya.
Dua puluh menit tanpa dialog sudah dilalui, saatnya turun dari mobil untuk mengikuti kemauan Revan. Yaitu makan malam di pinggir jalan.
"Nasi goreng dua ya, pak. Pedes semua." Ucap Revan pada bapak bapak yang sedang sibuk menggerakkan spatula di atas wajan.
Revan menghampiri aku yang sudah duduk di salah satu tikar yang berjejer rapi di tepi jalanan.
"Udah aku pesenin nasi gorengnya," ia menarik tanganku, "Jangan marah ya, Ri."
"Besuk aku berangkat kerja bareng ayah aja."
"Kenapa?"
Ku lepaskan tanganku dari genggamannya, "Nggak papa, kangen aja berangkat kerja di anter ayah."
"Besuk aku udah mulai kerja, Ri."
Wajahku menoleh seketika, "Kok mendadak? Bukannya masih minggu depan kerja kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...