Musuh Bersatu

4.4K 247 24
                                    

Langkahku juga ikut terhenti di sebelah Revan, wajahku juga sama dengan suamiku, langsung asem dan nggak enak di liat. Padahal di dalem ruang tamu itu semua udah dengan senyum merekah menyorot ke arah kita bertiga.

"Nah, itu dia Ara udah pulang." Sorak Ayah.

Revan menatapku sekilas, sorot matanya seolah mengatakan jika kita berdua tak boleh menunjukkan perasaan kecewa ini di hadapan Ayah dan Ibu. Tangan kirinya meraup bahuku untuk ikut di giring memasuki rumah, yang tentunya semakin mendekat ke arah tamu tak di undang ini.

"Udah lama, Lang?" Tanya Revan, ia lalu berjabat tangan setelah menyerahkan Ara ke pangkuan neneknya.

Iya, tamunya Galang dan Stella. Galang dengan muka tak bersalahnya, sedangkan Stella dengan senyum renyahnya di samping sang suami yang ternyata seorang musang berbulu domba.

"Baru aja kok, paling baru sepuluh menitan." Sahut Galang, ia memberi tempat untuk Revan ikut duduk di sampingnya.

Aku sedikit membuang muka saat tatapan Galang mengarah ke aku, dalam hati aku pengen banget nyakar tuh mukanya biar babak belur. Bisa bisanya dia nyakitin orang tuaku, dan bertamu pagi pagi gini tanpa rasa bersalah.

"Oh ya, Rin. Stella baru mau ikut program hamil, nanti kalau berhasil tolong kamu kasih tips seputar kehamilan ke dia ya? Bisa kan?" Ucap Galang seperti biasa, penuh sopan dan santun.

Aku hanya mengangguk, di hiasi senyum simpul.

"Nggak usah buru buru, Lang. Kalau belum punya anak, ya pacaran aja dulu." Ujar Ibu, membuat Stella tersipu.

"Keluarga kan bakal lebih lengkap kalau udah ada anak, bu. Jadi kita mau cepet cepet ngasih Ara temen," sahut Galang.

Semua tersenyum riang, kecuali aku dan Revan. Revan terlihat tak nyaman dengan keadaan ini, aku tau sih gimana malesnya liat orang yang punya perasaan ke pasangan kita.

Tujuan Galang kesini emang buat jenguk Ayah, dia bawa oleh oleh parcel buah super gede, terus banyak banget biskuit dan teman temannya, dan juga beberapa kardus cake. Dia bilang kalau tau Ayah kecelakaan itu dari temennya yang rumahnya deket dari lokasi kejadian saat Ayah di hadang preman itu, bahkan dia nyuruh Ayah cerita semua kejadiannya dengan rinci seolah tak tau secuil permasalahannya pun.

Paling bikin gondoknya tuh pas dia pura pura kesel sama orang yang nyuruh preman itu habisin Ayah, padahal kan dia sendiri dalangnya. Jujur, aku kecewa banget sih liat Galang jadi manusia jahat gini.

Galang itu manusia paling baik yang pernah ku temui, bahkan dulu aku nggak pernah bisa nemuin kesalahan Galang, karena saking sempurnanya ia jadi orang. Tapi kenapa dia sekarang jadi antagonis gini? Gara gara aku? Tapi aku nggak nyuruh dia jadi jahat kan?

Nggak tau juga lah, pusing banget kepalaku mikirin itu. Yang jelas sekarang Galang bukan lagi manusia suci kek bayi di muka bumi ini, bahkan ia sekarang termasuk dalam kategori orang jahat menurutku.

Setelah sekitar satu jam Galang bertamu dengan segudang topik pembicaraan yang ngalor ngidul, akhirnya ia pamit pulang juga. Dari tadi kek pamitnya, aku udah males dari tadi ngeladenin dia ngoceh.

Stella lebih banyak diemnya sih, mungkin ia sadar dengan sorot mata yang kusuguhkan dengan Revan. Aku jadi kasian sama Stella, dia pasti tertekan hidup sama Galang.

"Hati hati," seru Ibu pada mobil Galang yang melaju.

Sesudah kepergian sepasang suami istri tersebut, kita semua melanjutkan kegiatan pagi ini dengan sarapan bersama. Rasanya udah lama banget nggak sarapan di meja makan rumah sama Ayah dan Ibu, makanya ini aku jadi semangat buat narik kursi terus makan.

Hello, My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang