Wajahku menatap Revan yang dengan santainya memasukkan baju kotor ketika mesin cuci sudah setengah terputar.
"Kebiasaan," ujarku kesal.
Sudah seminggu hidup bersama. Kita berdua jadi lebih mengetahui keburukan dan juga kelebihan masing masing. Tapi lebih tepatnya Revan yang banyak kurangnya di mataku, ia selalu saja membuat hal hal konyol yang membuatku jengkel.
Revan yang tak pernah absen mandi lama setiap pagi sampai pintu kamar mandi ku ketuk sepuluh kali baru keluar, dia yang selalu lupa menaruh baju kotor di keranjang sehingga menaruh di mesin cuci yang sudah berputar setengah jalan setiap pagi. Ia juga si ceroboh yang selalu meninggalkan cangkir bekas kopi semalam hingga pagi hari aku yang memungutnya. Itu semua hanya sebagian kecil, tak mungkin kuat aku menceritakan segala tingkahnya yang membuatku selalu berpacu emosi.
"Maaf, sayang. Lupa lagi," ujarnya cengengesan.
"Besok kalau sampai lupa lagi, mending kita cuci baju sendiri sendiri aja." Sahutku dengan nada kesal.
Langkahnya yang sudah di bibir pintu ia urungkan. Ia berbalik menatapku, "Sarapannya apa, Ri?"
"Roti pakai selai kaya kemaren aja, Van. Aku males masak." Jawabku, yang sukses membuat Revan memanyunkan bibir.
Sudah tiga hari Revan ku beri sarapan roti tawar dengan selai, padahal kedua makanan itu masuk ke dalam kategori makanan yang sebisa mungkin di hindari Revan.
Sejujurnya bukan karena tak ada waktu aku tak memasak, tapi tak ada waktu itu hanya ku jadikan alasan saja pada Revan yang merengek ingin aku segera menyalakan kompor untuk membuatkan suatu hidangan untuknya sarapan.
Buktinya sekarang aku duduk santai di atas rumput, dan juga mengadah memandang birunya langit sembari menunggu mesin cuci berhenti berputar. Aku hanya malas untuk menyajikan sarapan untuk Revan. Tak tau juga apa yang menyebabkan ku semalas ini, mungkin kecapekan karena melakoni tugas ibu rumah tangga setiap hari.
Klinggg...
Mataku dengan malas melirik ponsel di sebelahku. Dari kemaren ibu dan mama berlomba mengirim pesan untuk sekedar menyuruhku mengetes hasil jerih payahku setiap malam dengan Revan.
Bahkan tak main main, kemaren ada driver ojek online mengirimkan sesuatu untukku, yang ternyata berisi test pack dari Mama. Bahkan ada tujuh test pack dari merk berbeda di dalam kantong yang di kirim Mama.
Mama:
Gimana hasilnya, Ri? Oma udah nanyain terus hasilnya.Mataku terpejam, apa yang ku tebak benar juga. Setiap pagi hp berbunyi hanya berisi dua perempuan menyuruhku segera tes kehamilan. Memangnya mereka tak ada kerjaan lain apa?
"Ikut sarapan sekalian nggak, Ri?" Kepala Revan muncul di balik pintu. Ia sudah siap dengan setelan kantornya, hanya kurang memakai jas dan dasi saja.
"Mama wa lagi deh, Van. Aku pusing,"
Ia mendekatiku, berjongkok di sebelahku sembari mengelus lenganku. "Yaudah, kamu tes aja sekarang. Biar kita tau hasilnya juga."
"Menurut artikel yang aku baca kemaren itu, paling efektif tes kehamilan dilakukan dua belas hari setelah melakukan hubungan. Kita kan baru seminggu, masih kurang lima hari lagi." Jelasku.
Revan terkekeh, "Tapi kan kita seminggu ini tiap malem buat terus, Ri. Kemungkinan hamilnya besar, nggak usah nunggu dua belas hari."
Aku berdiri untuk memindahkan baju baju yang baru saja berhenti berputar ke keranjang biru dekat mesin cuci. Revan ikut berdiri di balakangku, kemudian ia duduk di kursi kecil yang biasanya ku fungsikan untuk duduk ketika berjemur pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, My Destiny [COMPLETED]
Teen Fiction"Bukan karena harta aku memilihmu, tetapi karena aku percaya jika takdirku akan bahagia bila bersamamu." -Arina. "Aku udah punya takdir bahagiaku, tetapi bukan kamu." -Revan. Dari percakapan itu aku semakin percaya, jika jodoh ku bukan hanya seputar...