Jae SERIES: When YOU LOVE SOMEONE

592 43 2
                                    

Bab 2
Anak Laki-laki, Hujan dan Aku yang tersesat

"Apa Tuhan akan marah jika aku lebih mencintaimu?"

Apa kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Apa kamu percaya bahwa hanya dengan melihat seseorang kamu bisa jatuh cinta. Saat itu aku tak tahu apa-apa, yang jelas jantungku berdebar setiap kali aku melihatnya. Dia alasanku lebih mencintai Tuhan. Dia alasanku menyukai gereja, dia alasanku menyukai berlama-lama berdoa. Dia. Yang lima tahun lalu kutemui di gereja ini.

Dia selalu berdiri di depan dengan pandangan datar. Seolah dunia tak pernah berputar, seolah dia tak peduli bumi punya poros dan selalu berputar pada porosnya. Dia yang sering kusebut dalam doa, namun sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya.

Aku melangkahkan kaki ke dalam gereja. Gereja masih sepi. Biasanya aku bisa melihatnya di depan sedang menyetel gitar listrik miliknya sebelum pelayanan dimulai. Aku masih ingat saat pertama kali melihatnya.

Saat itu aku masih kelas enam SD. Jujur waktu itu aku malas sekali ke gereja. Mama sampai harus membujukku dengan permen kapas agar aku mau beribadah. Bagi itu aku memakai dress polkadot pilihan mama. Rambutku dikuncir dua. Aku seorang yang sangat pemalu dan jarang bicara dengan orang lain. Berbeda dengan aku yang sekarang.

"Ma, agnes mo jalan-jalan bentar boleh gak?" Gumamku saat itu. Di luar sedang hujan. Mama dan papa sedang berbincang dengan jamaah lainnya. Kami memutuskan untuk menunda kepulangan hingga hujan reda.

"Mau ke mana sih, Dek. Nanti kalau ilang gimana?" Ujar mama dengan nada khawatir.

"Keliling gereja doang, Ma. Lagian agnes gak mungkin tersesat," aku meyakinkan mama.

"Dih, nanti kalau ilang susah nyarinya," mama keukeuh tidak memberiku izin.

Aku mengerucutkan bibirku, "Bentar doang kok, agnes gak bakalan tersesat," gumamku. Aku terus mendesak mama hingga akhirnya dia mengizinkanku.

"Jangan jauh-jauh ya. Jangan tersesat juga," mama akhirnya mengizinkanku.

"Asyik!" Aku girang. Aku meloncat-loncat saking senangnya. Aku pun melambaikan tangan ke mama. Namun baru beberapa langkah aku balik lagi.

"Ma, risol agnes mana?" pintaku pada mama.

"Ya ampun kamu ini," Mama merogoh tasnya dan memberikan sekotak risol padaku. Aku sangat menyukai risol. Jadi ke mana-mana aku tak lupa membawanya.

"Nih."

Aku mengambil kotak risol dari tangan mama dan mulai berjalan mengelilingi gereja. Gereja ini terdiri dari lima lantai. Masing-masing lantai digunakan untuk beribadah. Jadi ibadahku dipisah gitu. Lantai lima buat Teens, untuk ibadah anak-anak seusiaku ini, terus ada Youth dan ada umum juga.

Aku melangkahkan kaki menuju lift dan naik ke lantai dua. Begitu lift terbuka aku menyusuri lorong dan melihat banyak anak-anak yang usianya lebih tua dariku sedang beribadah. Aku berjalan sambil menenteng risol. Karena lelah, aku menuju kursi di sudut lorong dan duduk memakan risolku.

Aku mengigit risol di tanganku. Angin semilir menerpa wajahku. Dingin. Hujan belum usai di luar sana. Ada yang mengusik ketenanganku saat memakan risol. Aku mendengar suara genjerengan gitar dari ruangan di hadapanku. Sebuah genjrengan gitar yang indah. Seperti tertarik magnet, aku tak sadar kalau aku sudah berdiri di depan pintu sambil melongok ke dalamnya.

Seorang anak laki-laki tengah memainkan gitar sambil memejamkan mata. Indah sekali Ya Tuhan. Untuk pertama kalinya jantungku berdebar. Jantung anak esde berdebar karena seorang laki-laki.

Cowok itu mengenakan celana jeans dan kemeja formal. Sepertinya dia dua atau tiga tahun lebih tua daripada aku. Dia memakai kacamata bulat dan rambutnya hitam. Tangannya lihai memainkan gitar sementara bibirnya menyanyikan sebuah lagu yang aku tak tahu judulnya.

"Prok ... prok ... prok ..."
Begitu lagu itu selesai dengan bodohnya aku bertepuk tangan. Cowok itu membuka matanya dan menatapku dengan tatapan garang.

"Kamu siapa?" Gumamnya dingin.
Risol di tanganku melorot.

"Ah, aku minta maaf, aku tak sengaja mendengar kakak main gitar, jadi aku eng... ehm ...," jawabku gagap.

"Gue gak butuh penjelasan," gumam cowok itu dingin . Dia memasukkan gitar ke dalam tas gitar miliknya. Aura di sekitarku mendadak dingin.

Aku menunduk dan melihat risol di dekat kakiku. Cepat-cepat aku mengambilnya dan menyembunyikannya di belakang punggungku.
Cowok itu menggendong gitar di punggungnya dan belalu. Aku masih bengong kayak sapi ompong. Tanganku masih gemetar.

"Kamu mau nginep di sini apa gimana?" Suara anak laki-laki itu kembali terdengar. Aku menoleh dan memandangnya tengah menatapku di depan pintu. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

"Hah?"
Aku memandang sekeliling. Lalu melirik jam di tanganku. Astaga sudah sejam sejak aku meminta izin pada mama untuk jalan-jalan. Mama pasti mencariku. Aku bergegas keluar dari ruangan mengambil box risolku dan memasukkan risol yang jatuh tadi ke dalamnya. Anak laki-laki itu menatapku dari belakang dengan tatapan dingin banget. Aku bergidik ngeri.

"Kamu mau ke mana?" Langkahku terhenti ketika dia bertanya lagi padaku.

"Kamu nanya aku?" Aku menunjuk diriku sendiri.

"Ada orang lain gak selain kamu di sini?" Aku menoleh sekeliling. Langit di luar sana sudah mulai gelap. Lorong mulai sepi. Hanya ada aku dan dia.

Jahat banget sih Ya Tuhan. Sama anak kecil kayak aku gini dia jahat banget. Tampangnya itu loh gak enak.

"Aku mau pulang," gumamku. Mama aku takut sama dia.

"Kamu anak baru ya? Anak teens pasti," aku mengerutkan keningku. Bagaimana dia tahu?

"Kalau mau keluar bukan lewat sana, tapi lewat sini," gumamnya menunjukkan arah.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dia berbalik dan berjalan begitu saja.

Itu hari pertamaku bertemu dengannya. Hari pertama jantungku sebagai anak esde berdebar. Hari pertama di mana aku bertemu makhluk menyebalkan seperti dia.

"Udah selesai, Nes?" Martha menghampiriku. Dia adalah teman sekampusku. Kami sering datang ke gereja ini bersama-sama.

"Udah, mau balik sekarang?"

Tanyaku. Martha menatapku dengan tatapan datar. Dia mengeluarkan sebuah tissue dari balik tasnya.

"Nih" dia menyodorkannya padaku.

"Apaan?"

Martha duduk di sampingku. "Kamu nangis lagi," gumam Martha. Aku menyentuh pipiku. Dan tanpa sadar pipiku sudah basah entah sejak kapan.

"Keinget Jae lagi?" Martha menghela napas.

Aku mengambil tissue dari tangannya dan mengelap wajahku secepat mungkin. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Martha.

"Pulang yuk, aku capek," gumamku mengalihkan perhatian. Martha seperti paham. Dia tak bertanya lagi.

Sebelum keluar dari gereja aku menatap tempat itu lagi. Tempat di mana dua tahun lalu kamu ada lalu menghilang. Tapi sekarang kosong. Tanpamu, tanpa alunan gitar.

Setiap kali aku datang ke sini aku selalu meminta maaf pada Tuhan. Karena aku selalu memikirkanmu saat sedang berdoa, aku merasa bersalah karena menyukaimu sebanyak itu. Apa tuhan akan marah jika aku menyukaimu melebihi menyukainNya?

A/N Halo Selamat pagi. 😁Kali ini lebih panjang daripada part sebelumnya kan? Ini mungkin agak religius gimana ya. Sebenarnya agaj takuy gagal alur nulis cerita ini karena aku gak tahu banyak soal gereja karena aku muslim. Tapi entah kenapa cerita temanku ini menarik. Hehehhe. Jadi aku suka menuliskannya. Semoga kalian suka ya.

Day6  HaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang