Hujan, Rumah, Aku Dan Kamu (Last SEKUEL)

435 23 1
                                    

To: My beloved Dongsaeng, Debby. Its story for you, and thanks to be my inspiration

"Tempat di mana segala rasaku singgah adalah kamu. Karena itu kamu kusebut rumah."

Seminggu menjelang pernikahanku dengan Dowoon, aku menjadi bimbang. Sangat. Terlebih setelah pertemuanku dengan Jae beberapa minggu yang lalu. Sumpah, aku tak tahu kenapa aku membiarkannya menciumku. Membiarkannya memberikan ciuman pertamaku, di hadapan Dowoon. Sementara Dowoon masih bersikap seperti biasa. Aku tidak bisa menahan perasaanku. Terlebih tiap kali ke rumah Dowoon, aku bertemu dengan Jae.. Meski kita tak saling bicara, namun debaran itu masih ada. Aku harus bagaimana?

"Tunggu di sini ya, Deb. Aku ke atas dulu," gumam Dowoon. Hari ini kami janjian buat mengecek persiapan pernikahan kami.

"Kok sepi. Pada ke mana?" Tanyaku.

"Mamah papah lagi keluar. Biasa nyari makan di luar, bosen makan di rumah katanya. Hehhehe." Jelas Dowoon.

Aku mengangguk pelan. Meski sudah beberapa kali ke sini. Ini pertama kalinya aku deg-degan. Bagaimana jika aku bertemu kembali dengan Jae. Aku tidak bisa membayangkan.

"Bang Jae lagi di atas nulis lagu, kalau mau ketemu samperin aja. Dia di balkon," gumam Dowoon sambil tersenyum.

"Eh... Enggak. Aku ga nyari Jae," sanggahku

"Nyari juga gak papa kok, aku percaya sama kamu," gumam Dowoon.

"Tunggu sini dulu ya, kalau laper atau haus, ke dapur aja. Bisa ambil minum sendiri kan?" gumam Dowoon. Dia tersenyum lalu naik ke tangga menuju kamarnya.

Dowoon, dia lelaki sabar yang paling sabar di dunia ini. Dan mungkin aku adalah perempuan jahat yang selalu dia maafkan. Aku seharusnya beruntung mendapatkannya, tapi bagaimana jika aku masih mengharapkan Jae? Meski aku tahu kalau aku tak punya harapan bersamanya.

Ayolah Deb, Jae tak mungkin mencintaimu. Dia menciummu juga hanya karena terbawa suasana. Tolong Deb, sadar.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil air minum. Tepat di saat aku berbalik. Ada Jae yang tengah memegang gelas kosong di hadapanku.

"Ha... Hai..." dia tergagap. Begitu juga aku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

"Mau minum?" Gumamku. Iya jelas dia mau minum, Deb. Ya kali dia bawa gelas mau bikin mie goreng.

"Iya. Kamu?"

Aku mengangkat gelasku, "Ini udah," gumamku. Aku meletakkan gelasku. Canggung sekali. Aku tak tahu harus berbuat apa, bicara apa, sepertinya dia juga begitu.

Aku menggeser tubuhku dari depan kulkas agar Jae dapat mengambil minum. Jae berjalan ke arahku. Dia tampak pucat, entah kenapa. Aku ingin bertanya, namun aku takut aku tak bisa menahan perasaanku jika terlalu banyak bicara dengannya.

"Aku ke depan dulu," gumamku.

"Eum," ujar Jae sambil mengangguk.

Aku berjalan meninggalkan dapur. Baru beberapa langkah, sebuah tangan melingkar di perutku. Menarikku ke belakang.

Aku bisa merasakan seseorang meletakkan kepalanya di bahuku.

"Jae, apa yang kau---"

"Maaf, aku memikirkannya, Deb. Ciuman itu bukan sebuah kesalahan. Aku melakukannya dengan sadar," gumam Jae dengan suara lirih.

Jae ini salah. Tolong. Bagaimana jika Dowoon tiba-tiba saja muncul. Harus berapa kali dia melihat adegan menyakitkan ini.

"Jae, lepaskan. Aku gak mau Dowoon salah paham." Gumamku.

Day6  HaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang